Derasnya Kritik Publik Tak Mampu Membendung Pengesahan UU TNI oleh DPR RI

POJOKBANDUNG.COM, JAKARTA – Derasnya kritik publik gagal menghadang revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).

Derasnya Kritik Publik Tak Mampu Membendung Pengesahan UU TNI oleh DPR RI

DPR resmi mengesahkan revisi UU TNI menjadi UU TNI yang baru, Kamis (20/3/2025). Foto-foto:Salman Toyibi/Jawa Pos

Kamis  (20/3/2025) DPR resmi mengesahkan revisi UU TNI menjadi UU TNI yang baru.

Pengesahan UU TNI yang dipimpin Ketua DPR Puan Maharani itu berjalan mulus.

Baca Juga :Forum Masyarakat Anti Korupsi Karawang Desak Kejati Jawa Barat Usut Tuntas Kasus Dugaan Korupsi Ruislag, Ini Pernyataan Koordinator FMAK Karawang, Ganjar Rohutomo

Puan menjelaskan, RUU TNI hanya mencakup tiga norma. Pertama, pasal 7 yang menambah cakupan operasi militer selain perang (OMSP) dari 14 menjadi 16.

Dua tambahan itu mencakup pertahanan siber dan perlindungan WNI atau kepentingan nasional di luar negeri.

Baca Juga :Bimtek Terintegrasi Rampung, 555 Petugas Haji Jabar Harus Berikan Pelayanan Terbaik

Kemudian, pasal 47 menambah jumlah lembaga yang dapat diduduki personel TNI. Dari 10 menjadi 14 lembaga. Empat tambahan itu adalah Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kejaksaan Agung, Badan Keamanan Laut, dan Badan Penanggulangan Terorisme.

”Di luar 14 kementerian/lembaga yang disebutkan, TNI dapat menduduki jabatan sipil lainnya setelah mengundurkan diri,” ujarnya.

Perubahan ketiga mencakup penambahan batas usia pensiun TNI.

Puan mengklaim proses penyusunan RUU TNI telah sesuai dengan prinsip demokrasi, supremasi sipil, dan hak asasi manusia.

Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menilai UU ini akan membawa TNI ke arah yang lebih baik. Dia mengklaim UU TNI juga lebih memperjelas batasan dan mekanisme pelibatan TNI dalam tugas nonmiliter. ”Menyesuaikan ketentuan terkait kepemimpinan, jenjang karier, dan usia pensiun sesuai dengan kebutuhan organisasi berdasarkan undang-undang yang berlaku,” ujarnya.

Sjafrie menjelaskan, UU mengatur bahwa TNI dibangun dan dikembangkan secara profesional. Namun, dinamika strategis seperti perubahan geopolitik dan perkembangan teknologi militer global mengharuskan TNI bertransformasi. ”Guna mendukung geostrategi negara yang realistis,” kata dia.

Sorotan Mengalir

Pengesahan RUU TNI kembali mendapat kecaman dari berbagai kelompok masyarakat. Direktur Eksekutif PARA Syndicate Virdika Rizky Utama menilai pengesahan UU TNI merupakan pukulan telak bagi demokrasi, supremasi sipil, dan amanat reformasi 1998. ”Revisi UU TNI sebagai bentuk pengkhianatan terhadap prinsip negara demokratis yang berbasis supremasi sipil,” ujarnya.

Bagi dia, revisi UU TNI merupakan contoh nyata dari praktik pemerintahan yang ”mengudeta” diri sendiri melalui instrumen hukum untuk memperkuat dominasi kelompok tertentu. Dalam hal ini, supremasi sipil dikorbankan demi kepentingan elite politik dan militer.

Upaya itu dilakukan dengan cara yang jauh dari prinsip deliberasi demokratis. ”Tidak ada konsultasi publik yang memadai, proses legislasi berlangsung secara diam-diam, dan naskah akademiknya hanya terdiri atas 28 halaman dengan kepustakaan hanya satu halaman,” kata penulis buku Menjerat Gus Dur itu.

Sejatinya, reformasi 1998 sudah tegas memisahkan ranah sipil dan militer. Namun, dengan UU TNI ini, perwira aktif dapat menduduki jabatan di lebih banyak lembaga strategis, termasuk Kejaksaan Agung yang seharusnya independen dari intervensi kekuatan bersenjata. ”Ini bukan sekadar pelanggaran prinsip demokrasi, tetapi langkah nyata menuju militerisasi birokrasi sipil yang bertentangan dengan semangat reformasi,” ungkapnya.

Sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPR seharusnya menjadi representasi rakyat. Namun, keputusan itu membuktikan bahwa DPR lebih memilih melayani kepentingan kekuasaan daripada membela demokrasi dan supremasi sipil.

Direktur Jaringan Gusdurian Alissa Wahid juga menyampaikan penolakan terhadap UU TNI yang baru disahkan parlemen. Dia mengatakan, dalam sistem demokrasi yang sehat, militer harus berada di bawah kontrol sipil. Militer tidak boleh memiliki peran langsung dalam pemerintahan atau politik. ”Sebab, demokrasi itu mengutamakan supremasi sipil. Yakni, pemerintahan dijalankan oleh warga sipil yang dipilih secara demokratis,” tegasnya.

Alissa mengatakan, wajar muncul kekhawatiran revisi UU TNI akan menghidupkan kembali dwifungsi militer. Dia menegaskan, dwifungsi militer akan mengaburkan batas antara ranah militer dan sipil sehingga melemahkan kontrol sipil atas angkatan bersenjata.

”Prajurit TNI aktif harus fokus pada tugas pertahanan negara. Bukan politik atau administrasi pemerintahan,” katanya. Menurut dia, keterlibatan prajurit aktif dalam politik dapat mengurangi profesionalisme serta membuat tentara abai terhadap tugas utamanya sebagai penjaga kedaulatan negara. Selain itu, dengan kekuatan bersenjata dan posisi strategis dalam pemerintahan, tentara berpotensi menyalahgunakan kekuasaan, melanggar HAM, dan bersikap represif terhadap masyarakat.

Alissa juga mengecam pembahasan RUU TNI yang tidak transparan dan cenderung menghindari pengawasan publik. Apalagi, rapat tersebut menggunakan fasilitas mewah di tengah banyaknya jargon efisiensi yang berimbas pada memburuknya pelayanan publik di berbagai sektor.

Jaringan Gusdurian juga mengajak DPR dan pemerintah untuk menempatkan kepentingan bangsa dan negara dengan menolak bentuk-bentuk pelemahan demokrasi. Bagi mereka, menyetujui RUU TNI yang berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi TNI/Polri adalah bentuk pengkhianatan pada reformasi.

”Kami mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk mengawal demokrasi dan semangat reformasi yang menjunjung tinggi supremasi sipil,” katanya. Mereka juga mengajak seluruh penggerak Gusdurian untuk melakukan konsolidasi nasional. Bersama jejaring masyarakat sipil di berbagai titik untuk mengamati dinamika sosial dan politik. Selain itu, menyiapkan langkah-langkah strategis untuk menyelamatkan demokrasi.

Pada bagian lain, Gerakan Nurani Bangsa yang dipelopori sejumlah tokoh bangsa juga memberikan pandangan terkait UU TNI yang telah disahkan. Gerakan tersebut didukung Nyai Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, A. Mustofa Bisri, M. Quraish Shihab, Mgr Ignatius Kardinal Suharyo, Omi Komariah Nurcholish Madjid, Bhante Sri Pannyavaro Mahathera, Pdt Jacky Manuputty, Erry Riyana Hardjapamekas, Karlina Rohima Supelli, Pdt Gomar Gultom, Franz Magnis-Suseno, A. Setyo Wibowo, Ery Seda, Laode Muhammad Syarif, Lukman Hakim Saifuddin, Alissa Q. Wahid, dan Pdt Darwin Darmawan.

Dalam keterangan tertulisnya, Mustofa Bisri menuturkan bahwa pasca-reformasi 1998 dan lengsernya Presiden Soeharto setelah 32 tahun berkuasa, Indonesia dengan kesadaran penuh dan kesepakatan semua elemen bangsa memilih demokrasi sebagai jalan menuju tercapainya amanat konstitusi dan cita-cita para pendiri bangsa. ”Sebuah sistem yang menempatkan rakyat sebagai pemegang daulat tertinggi serta berdiri di atas prinsip supremasi sipil,” terangnya.

Amanat reformasi 1998 yang lain sekaligus koreksi terhadap praktik-praktik yang bertentangan dengan nilai demokrasi di zaman Orde Baru adalah reformasi TNI. Pemisahan TNI dan Polri serta penghapusan dwifungsi ABRI.

Presiden Habibie pernah mengeluarkan inpres tentang langkah-langkah kebijakan pemisahan TNI-Polri. Kebijakan itu diteruskan Gus Dur lewat Tap MPR No VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI-Polri dan Keppres No 89/2000 yang menyatakan bahwa Polri berkedudukan langsung di bawah presiden.

Penghapusan dwifungsi ABRI kemudian dirumuskan menjadi UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia sebagai bagian integral reformasi TNI. ”Memastikan bahwa tugas utama TNI adalah alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara serta menegaskan pilihan TNI sendiri untuk menjadi prajurit yang profesional dan tidak menjadi alat politik kekuasaan,” paparnya.

Hari-hari ini, lanjutnya, prinsip supremasi sipil sebagai pilar utama pemerintahan yang demokratis terancam tercederai. Pembahasan revisi UU TNI antara pemerintah dan DPR ditengarai menjauh dari amanat reformasi, yaitu prajurit yang profesional dan tunduk kepada otoritas sipil dalam pemerintahan yang konstitusional.

Gerakan Nurani Bangsa meyakini perlunya upaya khusus untuk merawat dan menjaga kualitas demokrasi bangsa, utamanya mempertahankan supremasi sipil sebagai pilar utama demokrasi. ”Melihat latar belakang di atas dan kondisi saat ini serta harapan akan kualitas demokrasi Indonesia yang lebih baik, Gerakan Nurani Bangsa menyampaikan beberapa pesan,” jelasnya.

Pesan tersebut adalah penempatan anggota TNI aktif ke dalam institusi sipil akan melemahkan profesionalitas TNI. TNI menjadi tidak fokus dengan fungsi utama dan tugas pokok sebagai alat negara di bidang pertahanan sesuai amanah konstitusi. Kedua, berbeda dengan tradisi sipil yang terbiasa saling berbagi perspektif dan berargumentasi objektif untuk mendapatkan kesepakatan saat menghadapi perbedaan, militer dididik ketat taat komando hierarkis dan berwenang melakukan kekerasan bersenjata.

Watak khas yang positif bagi organisasi militer itu di institusi sipil justru akan membunuh demokrasi. Hal tersebut tidak hanya menghilangkan partisipasi publik, tapi juga berpotensi melanggar HAM dalam menata kehidupan bersama.

”Ketiga, TNI sebagai alat negara dan DPR sebagai lembaga wakil rakyat harus mampu merawat kepercayaan rakyat sebagai pemegang kedaulatan di negeri ini,” urainya. (far/wan/idr/oni/jawa pos)

loading...

Feeds