Distorsi Halal-Haram di Kala Pandemik

PANDEMIK  ini berlangsung sudah lebih dari satu tahun lamanya. Semua pihak mendapat dampak dari pandemik ini. Mulai dari bidang pendidikan, sosial, ekonomi dan seni budaya. Bagai gayung bersambut, inilah gambaran kondisi penggiat seni di Kabupaten Subang. Di tengah kondisi ini berlangsung pementasan seni budaya pun terhambat. Berbagai gelaran acara terpaksa diundur atau bahkan dibatalkan. Hal ini karena dalam pemantauan pihak dinas terkait, kasus ini masih banyak terjadi di masyarakat.


Di lansir dari laman situs JawaPos.com, (25/02/2021) Kasus Covid-19 dalam sehari bertambah 8.493 orang. Hal ini berdasarkan data dari Satgas Penanganan Covid-19. Kini total sudah 1.314.634 orang terinfeksi Covid-19. Jawa Barat masih menjadi provinsi penyumbang kasus harian terbanyak. Sedikitnya ada 69.544 ribu spesimen yang diperiksa. Dan ada 50.019 orang yang dites. Positivity rate yakni 16 persen lebih tinggi. Sedangkan Positivity Rate adalah hasil perhitungan angka positif kumulatif dibagi jumlah orang yang diperiksa kumulatif dikali 100. Maka semakin sedikit orang yang diperiksa dalam sehari, akan menaikkan angka positivity rate.

Ironisnya, ditengah kondisi seperti ini. Bagai distorsi (baca : pemutarbalikan suatu fakta) dikala pandemik. Pelaku seni di Kabupaten Subang Jawa Barat, merasa lega akhirnya mereka tidak lagi menganggur. Hal ini karena Pemerintahan setempat membolehkan warganya untuk menggelar hajatan dengan menampilkan acara hiburan. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Subang dr. Maxi, memperbolehkan kembali pentas dengan beberapa ketentuan dan memekanisme pentas seni dengan Protokol Kesehatan (Prokes) yang ketat. (Pojokbandung.com 23/03/2021)

Namun, menurut Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko, menuturkan jika tingkat kasus positif (positivity rate) infeksi virus corona di suatu daerah rendah atau kurang dari 5% maka ini masuk dalam kategori zona aman. (Suara.com, 24/03/2021). Walaupun dengan ada batasan-batasan yang ditetapkan, ini tidak menutupi fakta bahwa acara hiburan, hajatan ataupun konser musik lebih diminati dari pada pengajian ataupun acara berbau akademik. Pada kenyataannya, anjuran agar hadirin/undangan hajatan ini tidak lebih dari 25% dari jumlah biasanya, akan tetapi semuanya hanya sekedar anjuran saja. Inilah gambaran sistem kapitalis, pelaku bisnis ataupun pelaku seni diizinkan untuk beroperasi padahal akan menimbulkan kerumunan dan dapat dipastikan akan mendatangkan kemaksiatan, semestinya segala sesuatu yang mengundang kemaksiatan (baca : hal-hal haram) maka pementasan ataupun hal apapun dikala pandemik ataupun tidak ini dilarang.

Acara hiburan yang didalamnya ada campur baur antara pria dan wanita, lalu ditambah dengan pakaian tidak senonoh yang sering dipakai oleh para biduanita. Tak dianya juga minuman keras pun tidak bisa dielakkan lagi beredar dalam acara hiburan tersebut. Inilah hal yang semestinya diperhatikan dan perketat pengawasannya. Atau bahkan dilarang, bukan hanya sekedar dibatasi saja. Sistem kapitalisme ini sesungguhnya tidak melihat halal-haram, akan tetapi untung-rugi. Ketika mendatangkan pundi-pundi materi, maka yang haram pun diracik sedemikian rupa hingga bisa menjadi halal.

Kapitalisme ini muncul dari dasar pemisahan agama dari kehidupan (baca: sekuler). Bukanlah agama yang berbicara tentang halal dan haram. Keputusan yang diambil oleh pemerintah seyogianya merujuk kepada hukum halal-haram yang menjadi domain agama. Namun, dalam sistem sekuler ini negara tidak diberikan wewenang untuk menentukan halal dan haram (baca: yang merupakan urusan Tuhan).

Memang, semua itu mungkin tidak sejalan dengan hukum Allah, tetapi juga bukan merupakan suatu penyimpangan dalam sistem sekuler-demokrasi. Itu adalah suatu hal yang wajar, karena dalam sistem ini, yang halal tidak otomatis legal, dan yang haram juga tidak otomatis dilarang (secara hukum). Dan seorang pemimpin dalam sistem demokrasi wajib menjalankan aspirasi rakyat yang telah menjadi keputusan sistem, meski jelas bertentangan dengan syara’, dan meski hati-nuraninya tidak menyetujui.

Sementara sistem Islam -yang menganut kedaulatan syara’- mengharuskan penguasa untuk terikat dengan syara’ dalam melakukan legeslasi hukum dan menerapkan kebijakan-kebijakannya, sehingga Khalifah (baca: pemimpin dalam pemerintahan Islam) bisa dima’zulkan apabila tidak mengindahkan ketentuan asasi ini. Artinya,tasyrii’ (penentuan hukum halal-haram) yang menjadi domain Allah SWT harus ditindaklanjuti dengan sannul qowanin (legalisasi hukum) yang menjadi domain pemerintahan Islam yang manusiawi itu. Bahkan, dalam kaitannya dengan legislasi ini, Ibnu Khaldun pun telah mengajari kita untuk membedakan sistem politik yang syar’i dengan yang tidak, ketika beliau mengatakan : apabila undang-undang ini ditentukan dari gagasan kaum pemikir atau pembesar-pembesar negara atau para cerdikiawan (baca: orang pandai) maka ia merupakan sistem politik aqliyah (siyasatan ‘aqliyatan) dan apabila ditentukan dari Allah dengan hukum-hukum yang ditetapkan dan disyariatkan olehNya maka ia merupakan politik diniyah (siyasatan diniyatan) yang akan memberi manfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat
.
Wallahu A’lam Bishshawab

Oleh Siti Aisah, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan Kabupaten Subang)

 

Loading...

loading...

Feeds