Lagi dan lagi
Terus menerus terulang kembali
Berulang kali menyakiti hati para petani
Jutaan ton beras didatangkan dari luar negeri
Disaat para petani kan segera memanen padi
Entah apa maksud semua ini
Bukankah Tuan telah serukan benci produk luar negeri?
Tapi mengapa impor masih tetap dilakoni
Apakah tuan tidak membuka mata hati
Bagaimana perasaan petani yang terkhianati
Mereka hanya bisa yang gigit jari
Karena hasil panennya tidak ada yang mau beli
Masyarakat sudah terlanjur happy
Ramai-ramai memburu beras bersubsidi
Sepenggal puisi diatas, sepertinya mewakili perasaan para petani padi di Indonesia. Saat ini, sebagian besar wilayah Indonesia, akan melakukan panen raya. Bahkan di beberapa daerah, sudah ada yang mulai menjual hasil panennya. Tentu saja para petani berharap disaat panen raya seperti ini, mereka akan mendapatkan keuntungan yang lebih dari jerih payah mereka. Berbulan-bulan mengolah dan mengurus lahan pertanian, yang menjadi tumpuan hidup mereka dan keluarga.
Namun, harapan mereka tiba-tiba ambyar seketika. Pasalnya, pemerintah mewacanakan akan mengimpor 1 juta-1,5 juta ton beras, dalam waktu dekat ini. Hal tersebut disampaikan oleh pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto. Pihak pemerintah mengklaim bahwa impor beras tersebut dilakukan demi menjaga ketersediaan pasokan beras di dalam negeri, agar tetap terkendali.
Menurutnya ini adalah kebijakan baru, terkait adanya program Bantuan Sosial (bansos) beras, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), antisipasi dampak banjir, dan pandemi Covid-19. Beliau mengatakan hal itu dalam acara Rapat Kerja Kementerian Perdagangan, di istana negara. (cnnindonesia.com, Kamis, 4/3/2021).
Kebijakan pemerintah ini jelas memukul telak para petani padi. Sebab secara tidak langsung akan mematikan sumber ekonomi petani. Sehingga nasib para petani menjadi semakin memprihatinkan.
Kebijakan pemerintah seringkali mengambil solusi yang kontroversi. Membuka kran impor beras secara besar-besaran. Tanpa memperhatikan nasib para petani yang kelabakan.
Semboyan “benci produk luar negeri,” yang digaungkan oleh Presiden Joko Widodo baru-baru ini, dinilai hanya sebatas isapan jempol belaka. Sebab faktanya justru berbanding terbalik dengan apa yang beliau ucapkan. Maka tidak heran jika masyarakat menyebut pernyataan tersebut bak peribahasa “seperti menjilat ludah sendiri.” Menarik kembali ucapan yang sudah disampaikan.
Sementara ucapan seorang pemimpin negara adalah “sabda pandita ratu,” yang berarti perintah (titah).
Bahkan dalam sebuah hadis sahih dijelaskan, bahwa keselamatan manusia tergantung pada kemampuannya dalam menjaga lisan (ucapan). Salah seorang Ekonom Universitas Indonesia, yang juga merupakan Direktur Eksekutif Next Policy, Fitra Faisal, ikut berkomentar. Beliau menyayangkan pernyataan Presiden Joko Widodo, terkait ajakan untuk benci produk luar negeri. Ia menganggap bahwa pernyataan itu dapat menimbulkan retaliasi ke produk Indonesia yang berada di luar negeri.
Apalagi seruan ini tidak diiringi dengan peta jalan yang sungguh-sungguh berupaya memandirikan kemampuan dalam negeri. Jangan sampai seruan ini hanya menjadi retorika politik belaka. Yang bertujuan untuk mengambil hati rakyat Indonesia. Sebab faktanya impor terus berlangsung dalam jumlah yang cukup besar dan di sektor vital strategis. Jika ini terjadi maka masyarakat dan para petani yang akan terus-menerus dalam kerugian. Jauh dari kata sejahtera.
Demikianlah, kebijakan semacam ini dianggap wajar dalam sistem demokrasi-kapitalisme. Sebuah sistem yang selalu berorientasi pada keuntungan materi semata. Yang mengatasnamakan kepentingan rakyat, tapi pada kenyataannya mengutamakan kepentingan pihak lain. Dalam hal ini adalah para pemilik modal yang notabene adalah para korporasi. Sebab, sudah menjadi rahasia umum di negeri ini, bahwa para penguasa selalu bekerjasama dengan para pemilik modal (korporasi).
Pemerintahan yang menerapkan sistem demokrasi-kapitalisme tidak segan-segan melakukan praktik perdagangan bebas. Yang berarti bahwa pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan untuk membatasi impor maupun ekspor. Baik itu menyangkut barang maupun jasa. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemerintah menyerahkan urusan bisnis (perdagangan), ke dalam negeri dan ke luar negeri kepada swasta. Hal ini sangat berbahaya bagi kelangsungan usaha mikro. Mereka akan mudah dikendalikan oleh negara-negara kapitalis yang menguasai pasar dunia. Sehingga kebutuhan dan kepentingan rakyat menjadi terabaikan.
Padahal, sudah seharusnya seorang pemimpin negara mengurusi urusan rakyatnya. Ia bertanggung jawab mutlak terhadap nasib rakyatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,
“Imam (pemimpin negara) adalah pemelihara urusan rakyatnya. Dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (H.R. al-Bukhari dan Muslim).
Berbeda dengan sistem kepemimpinan Islam (khilafah), yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Baik itu kehidupan individu, bermasyarakat, maupun bernegara. Termasuk kewajiban negara dalam hal mengurus pengadaan barang, yakni impor dan impor. Khilafah sekali-kali tidak akan memberikan peluang bagi para korporasi, untuk menguasai hajat pangan dan pertanian.
Sistem Islam akan mewujudkan kemandirian pangan. Berupaya semaksimal mungkin mengoptimalkan daerah-daerah yang berpeluang besar untuk sektor pertanian. Negara khilafah akan mengatur dan mengurus produktivitas lahan dan produksi pertanian. Caranya adalah dengan melakukan eksentifikasi pertanian. Yakni negara menerapkan aturan “menghidupkan tanah-tanah mati.”
Khilafah akan mengambil tanah-tanah milik rakyat yang ditelantarkan oleh pemiliknya selama tiga tahun. Kemudian berhak memberikan tanah tersebut kepada siapa saja yang mau mengolahnya. Tanah itu kemudian berhak menjadi miliknya.
Sabda Rasulullah saw.,
“Siapa saja yang menghidupkan tanah mati (terbengkalai), maka tanah itu menjadi miliknya.” (H.R.Tirmidzi dan Abu Dawud).
Khilafah tidak akan membiarkan ada tanah-tanah yang terbengkalai. Setiap jengkal tanah harus dapat diolah untuk kemanfaatan rakyatnya. Negara khilafah juga akan membatasi barang impor, apabila stok barang dinilai telah cukup. Sebaliknya, negara khilafah akan terus menggenjot produksi di dalam negeri, agar dapat melakukan ekspor barang. Sebab, perdagangan merupakan penopang utama dalam perekonomian suatu negara. Dengan kata lain, peningkatan ekonomi suatu negara dapat dilihat dari transaksi perdagangan Internasional dalam hal ekspor-impornya.
Sayangnya, di Indonesia praktik perdagangan luar negeri, khususnya ekspor-impor belum berkontribusi besar dalam pendapatan negara. Neraca perdagangannya masih sering negatif. Padahal, Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) di negeri ini melimpah ruah. Baik itu di sektor pertanian, perhutanan, perkebunan, perikanan, barang tambang, dan lain-lain.
Pengelolaan SDA dan SDM yang belum maksimal, membuat Indonesia masih terseok-seok dalam mencukupi kebutuhan pokok rakyatnya. Sehingga negara yang kaya raya ini terpaksa harus mengimpor beras dalam jumlah yang fantastis. Miris.
Demikianlah jika sistem demokrasi-kapitalisme tetap diterapkan di negeri ini. Peluang rakyat untuk mendapatkan kesejahteraan, dan tercukupinya kebutuhan pokok dasar manusia hanya sebatas ilusi. Sebab, sistem ini merupakan sistem yang rusak dan merusak. Kapitalisme merupakan sistem pro asing, yang diciptakan untuk melemahkan ekonomi negeri-negeri kaum muslimin. Sehingga kaum kapitalis ini dengan menguasai pasar dunia.
Berbeda dengan sistem Islam (khilafah). Sebab sistem ini berasal dari Sang Khalik, yakni Allah Swt. Sehingga apabila diterapkan dalam suatu negara, maka akan membuat wilayah itu menjadi negara yang aman, damai, sejahtera. Baldatun toyibatun warabbun ghafur.
Wallahu a’lam bishshawab.
Oleh Sumiyah Ummi Hanifah
Member AMK dan Pemerhati Kebijakan Publik