Benarkah Prestasi Jabatan Dinilai dari Banyaknya Pembangunan?

PEMBANGUNAN : Proses pembangunan Skywalk di sekitaran Gedung Budaya Sabilulungan, Soreang, Kabupaten Bandung, Rabu (4/12). 
(FIKRIYA ZULFAH/RADAR BANDUNG)

PEMBANGUNAN : Proses pembangunan Skywalk di sekitaran Gedung Budaya Sabilulungan, Soreang, Kabupaten Bandung, Rabu (4/12). (FIKRIYA ZULFAH/RADAR BANDUNG)

Bahagia dan bangga. Mungkin itu yang dapat menggambarkan suasana hati Dadang M Naser usai melepas jabatannya 17 Februari 2021 lalu sebagai Bupati Bandung. Dadang telah menjabat Bupati selama satu dekade. Sepanjang perjalanan jabatannya banyak program dan capaian yang dibuatnya seperti pembangunan Gedong Munara 99, Sky Walk dan yang terakhir menurut Dadang adalah tidak ada lagi desa tertinggal di kabupaten Bandung.

Dari video yang diunggah Humas Kabupaten Bandung di facebook, Dadang menuturkan bahwa di Kabupaten Bandung terdapat 270 desa. Strata yang tersisa hanya desa berkembang, desa maju dan desa mandiri. (Mapaybandung.pikiran-rakyat.com., Jumat, 19/2/2021/)

Kriteria Desa Tertinggal
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 63/2020 tentang Penetapan Daerah Tertinggal, terdapat beberapa kriteria sebuah daerah masuk kategori tertinggal atau tidak. Di antaranya adalah Perpres pasal 2 menyebutkan: perekonomian masyarakat, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, kemampuan keuangan daerah, aksesibilitas dan karakteristik daerah.

Di Indonesia, terdapat 62 kabupaten yang masuk kriteria desa tertinggal, sementara Kabupaten Bandung tidak masuk dalam jumlah tersebut. Berikut daftar provinsi dan jumlah kabupaten dengan desa tertinggalnya: Sumatera Utara (4); Sumatera Barat (1); Sumatera Selatan (1), Lampung (1), NTB (1), NTT (13), Sulawesi Tengah (3), Maluku (6), Maluku Utara (2), Papua Barat (8), Papua (22).

Dengan melihat daftar tersebut di atas, maka sangat wajar jika seorang pejabat publik merasa lega sekaligus bangga bahwa daerah yang menjadi wewenangnya bebas dari predikat tertinggal. Namun benarkah demikian?

Parameter Demokrasi-Kapitalisme
Untuk menetapkan suatu wilayah masuk kategori mandiri, berkembang, tertinggal atau sangat tertinggal, tentu diperlukan parameter yang jelas dan transparan sehingga masyarakat dapat mengakuinya sesuai realita.

Sayangnya, parameter yang diberlakukan di
negeri ini dengan Perpresnya masih mengundang sejuta tanya. Perekonomian masyarakat misalnya. Perekonomian seperti apa yang dapat menyebutkan masyarakatnya layak disematkan mampu, sejahtera atau sangat sejahtera, sehingga wilayahnya pun bebas dari desa tertinggal, ini juga masih belum jelas. Terlebih pasca wabah Covid-19 masuk ke Indonesia dengan segala masalahnya masih dirasakan warga terdampak, misalnya kemiskinan, kelaparan, sulitnya lapangan pekerjaan, PHK massal, sementara kebutuhan primer dengan sandang, pangan, papannya harus terpenuhi. Belum lagi masalah kesehatan, pendidikan, serta keamanan semakin sulit tercapai.

Fakta berikutnya adalah sarana dan prasarana. Jika mengamati pembangunan di wilayah kabupaten Bandung, memang benar adanya. Hanya saja masih perlu penjelasan rinci seberapa penting pembangunan itu dan diperuntukkan untuk siapa? Untuk rakyat? Rakyat yang mana?

Kembali lagi, jika alasannya untuk kepentingan rakyat sementara saat ini yang dibutuhkan adalah pelayanan terhadap aspek primer sebagaimana disebutkan di atas tak mereka dapatkan. Dana milyaran rupiah mudah menggelontor untuk pembangunan, tapi seolah sulit mengucurkan dana atasi wabah dan dampaknya.

Jawaban konkrit dari kondisi tersebut adalah program yang dibuat pejabat publik bukanlah untuk rakyat, tapi semata meraih strata sosial sebagai pejabat publik, dinilai bagus oleh dunia luar, dengan keuntungan pembangunan untuk mereka yang punya kepentingan. Siapa lagi jika bukan penguasa dan pengusaha.

Banyaknya pembangunan yang digenjot secara besar-besaran, beragam mega proyek seperti kereta api cepat, bandara, mall dan jalan tol Cisumdawu, Cigatas, menyisakan masalah baru. Jalanan rusak, pemukiman warga tergusur, ganti rugi minim, termasuk AMDAL tak diperdulikan pengembang proyek. Tak cukup sampai di situ proyek pemukiman rumah mewah (Sumarecon), terus menyasar lahan warga, baik tempat tinggal atau pertanian siap berpindah tangan. Sementara pemerintah tak mempertimbangkan bagaimana mereka bertahan dengan kondisi tak punya rumah, tak ada lagi lahan garapan sedangkan kebutuhan hidup semakin mahal.

Sudah jatuh tertimpa tangga. Kemiskinan akibat pembangunan besar-besaran namun abai dengan kesejahteraan diperparah dengan kondisi pandemi. Kabarnya di Jawa Barat sendiri dengan beberapa wilayahnya ditemukan orang miskin baru (Misbar). Jadi, bagaimana mungkin seseorang dikatakan berprestasi sementara hasil dari pembangunan tersebut tak mampu mengentaskan kemiskinan? Jika pun ada sarana dan prasarana perekonomian yang dibangun pemerintah itu tidak bisa menjangkau rakyat kecil dengan modal minim. Pada akhirnya yang bisa menikmati semua itu hanya orang berduit dengan negara sebagai fasilitatornya.

Masyarakat harus menyadari bahwa semua ini terjadi karena pembangunan berasaskan kapitalisme. Diukur karena ada manfaat dan keuntungan pribadi atau kelompok, bukan kemaslahatan publik secara umum. Inilah buah paham demokrasi kapitalisme dengan parameter manusia. Kebijakan yang dibuatnya sejalan dengan akidah sekularisme, memisahkan antara aturan agama dengan reallitas kehidupan.

Parameter Kemajuan dalam Pandangan Islam

Dalam pandangan Islam, parameter kemajuan ditentukan oleh pemikirannya. Semakin tinggi pemikirannya, semakin tinggi pula pemahamannya (irtifa’ul fikr) mengindera fakta dan menyolusikannya.

Kebangkitan berpikir seseorang diawali dengan mengokohkan akidah yang diimaninya lalu mengikatkan diri pada aturan yang lahir dari akidah tersebut. Proses ini terjadi melalui pembelajaran dengan metode talqiyan fikriyan sebagai metode khas Islam. Belajar bukan sekedar menuntut ilmu, mendapat nasehat atau petunjuk semata melainkan harus menjadi sebuah pemahaman untuk mempraktikkan dalam kehidupan nyata.

Dari pembelajaran tersebut terbentuklah pribadi-pribadi Islam yang mumpuni memecahkan persoalan umat. Baik sebagai masyarakat biasa atau tokoh umat, ia akan mampu membuat program terdepan tanpa motif kapitalistik tapi motif syariat. Sebagaimana kaidah fiqih berikut:
“Al-Ashlu fi al Af’al Taqayyudu bi ahkam asy-Syar’iyyi” (Asal dari setiap perbuatan adalah terikat pada hukum syara’).
Seorang pemimpin negara pun akan berlaku sama. Apa yang dilakukannya harus sesuai arahan syara berdasarkan akidah yang dimilikinya. Hasilnya, program yang dibuatnya akan benar-benar dirasakan manfaatnya oleh umat.

Perhatian negara terhadap kesejahteraan rakyatnya akan terwujud dalam pemenuhan kebutuhan individu per individu. Termasuk di dalamnya kebutuhan dasar semisal pendidikan, kesehatan, keamanan dan perlindungan. Pelayanan ini dipastikan negara hingga menyentuh warganya yang ada di pelosok negeri, tanpa terkecuali.
Dengan demikian pelayanan optimal dan maksimal kepala negara dalam sistem pemerintahan Islam tidak akan dikenal dan ditemukan istilah daerah tertinggal, masyarakat kekurangan, kelaparan, pembangunan infrastruktur pro pemodal. Namun sarana dan prasarana dibuat sesuai kebutuhan publik sebagai kerja nyata riayahnya (lihat: Tarikh al-Khulafa). Ia akan menampakkan tanggung jawabnya karena beban amanah di pundaknya sedemikian berat.

“Seorang imam (pemimpin/khalifah) adalah pelayan. Dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang diurusnya.” (HR. Bukhari)
Atas pemahaman tanggung jawab tersebut seorang pemimpin umat hanya akan meraih ridha Allah semata sebagai hakikat kebahagiaan. Ia tidak akan bangga dengan prestasi dunia atau pujian manusia.
Demikianlah perbedaan signifikan landasan berpikir yang berbeda, akidah yang berbeda akan melahirkan parameter berbeda.

Wallahu a’lam bi ash Shawwab.

Oleh Uqie Nai
Anggota Menulis Kreatif (AMK4)

loading...

Feeds

POJOKBANDUNG.com – Indosat Ooredoo Hutchison (Indosat atau IOH) mengumumkan kerja samanya dengan Universitas Pasundan (Unpas) melalui penandatangan Nota Kesepahaman (Memorandum …