Ibarat mimpi di siang bolong. Gambaran yang tepat mengharapkan harga daging sapi terjangkau bagi semua kalangan. Alih-alih terjangkau, harga yang stabil pun sulit dicapai.
Daging sapi bagi masyarakat menengah ke bawah adalah pangan bergizi namun mahal. Mereka bisa leluasa menikmatinya paling setahun sekali saat hari raya Idul Adha tiba.
Apalagi saat ini, harga daging sapi mengalami kenaikan. Dilansir oleh cnbcindonesia.com pada Selasa, tanggal 26 Januari 2021 lonjakan harga daging sapi kian terasa dalam beberapa waktu terakhir. Di waktu normal, harga komoditas ini berkisar Rp110.000 sampai Rp114.000 per kg khususnya di Jabodetabek. Harga daging sapi diproyeksikan bisa lompat ke angka Rp180 ribu jelang puasa dan lebaran atau naik 60%. Pada Selasa (26/1) harga di DKI Jakarta telah mencapai Rp133.350 per kg. Bahkan berdasarkan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS), harga daging sapi kualitas 1 mencapai Rp139.150 per kg. (cnbcindonesia.com, 26/1/2021)
Kesenjangan yang semakin melebar antara kaya dan miskin di negeri kapitalis menjadikan kesejahteraan tidak merata. Hatta untuk bisa mengkonsumsi pangan bergizi seperti daging sapi ini bagi kalangan menengah ke bawah sangat sulit. Bukan tidak mau tapi tidak mampu. Masyarakat menengah ke atas pun bukannya leluasa bisa menikmatinya kapan saja, kalau harga terus melonjak mereka pun pikir-pikir dulu.
Meskipun tidak semua kalangan masyarakat Indonesia leluasa menikmati daging sapi, ternyata kebutuhan daging sapi di negeri ini masih tergantung kepada impor. Dilansir oleh radartasikmalaya.com pada tanggal 23 Januari 2021 pemerintah Kabupaten Garut mendukung rencana pemerintah pusat untuk mengalihkan pembelian sapi impor dari Meksiko. Kepala Dinas Perikanan dan Peternakan Garut Sofyan Yani menyampaikan rencana impor sapi dari Meksiko dilakukan untuk mengurangi ketergantungan impor sapi Indonesia dari Australia. (radartasikmalaya.com, 23/1/2021)
Harga sapi impor Australia pun terus melonjak naik. Sejak banjir besar yang melanda sebagian besar kawasan Australia tahun 2018 lalu cukup memukul kawasan peternakan negara itu, sehingga populasi sapi mereka menurun drastis. Sementara harga pembelian atau belanja sapi impor di Garut sudah berada di atas harga Rp115 ribu per kilogram. Angka itu naik dari sebelumnya Rp97 ribu per kilogram. (radartasikmalaya.com, 23/1/2021)
Begitu pula, harga daging sapi lokal mengalami kenaikan menjadi Rp97 ribu per kilogram dari sebelumnya Rp95 ribu per kilogram. Sofyan Yani juga menyampaikan selama pandemi ini kebutuhan untuk Pasar Ciawitali (pasar induk di Garut) sekitar 4-5 ton sehari. Jumlah ini belum termasuk daerah yang lain.(radartasikmalaya.com, 23/1/2021)
Jelas sudah, pemerintah lebih memilih impor sapi daripada meningkatkan produksi sapi lokal. Realitas ini menunjukkan bahwa target kedaulatan pangan dipastikan meleset. Rezim ini tidak benar-benar serius merealisasikannya. Di tengah makin tingginya kebutuhan pangan masyarakat termasuk daging sapi, pemerintah justru makin menggantungkan pemenuhannya dari impor.
Kegagalan mewujudkan kedaulatan pangan disebabkan negeri ini masih menggunakan paradigma batil neoliberal untuk mengelola pangan. Paradigma ini telah meminimalisasi peran pemerintah/negara dalam mengurusi hajat rakyat. Kehadiran pemerintah hanya sebatas regulator dan fasilitator untuk membuat aturan dan regulasi. Sementara pemenuhan hajat rakyat diserahkan ke pasar (korporasi) dalam hal ini importir.
Di sisi lain pemerintah kurang memberikan stimulus kepada para peternak agar lebih bergairah meningkatkan produksi peternakannya. Akibatnya harga daging sapi mahal dan pemerintah gampang saja membuka keran impor atas nama stabilisasi harga dan memenuhi stok pangan.
Dalam Islam, pemerintah terjun langsung mengurus rakyat. Tidak mencukupkan diri sebagai regulator dan fasilitator saja. Hal ini telah ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits Beliau: _“Sesungguhnya seorang penguasa adalah pengurus (urusan rakyatnya), dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.”_ (HR. Muslim dan Ahmad)
Tanggungjawab ini mutlak diemban oleh negara Islam tanpa boleh dialihkan pada pihak lain apalagi korporasi. Terlebih jika tergantung dengan negara asing.
Negara Islam akan membangun kedaulatan pangan dan mengerahkan seluruh potensi dalam negeri sehingga tidak sedikit pun memiliki ketergantungan kepada asing dengan mengimpor kebutuhan pokok rakyat. Allah Swt. melarang kaum muslimin memberikan jalan kepada asing (orang kafir) untuk menguasai mereka. Allah Swt. berfirman,
_“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman.”_ (QS an-Nisaa: 141).
Islam mempunyai solusi jitu dalam menjaga kestabilan harga. Bukan dengan cara mematok harga ataupun membanjiri negeri dengan barang impor. Pematokan harga ( _ta’sir_ ) dalam Islam haram. Rasulullah Saw. bersabda, _”Allahlah yang Dzat Maha Mencipta, Menggenggam, Melapangkan rezeki, Memberi Rezeki, dan Mematok harga.”_ (HR Ahmad dari Anas). Dengan begitu, Nabi tidak mau mematok harga, justru dibiarkan mengikuti mekanisme _supplay_ _and_ _demand_ .
Meskipun diserahkan kepada mekanisme pasar, negara tidak akan membiarkan begitu saja harga-harga melambung tinggi. Kenaikan harga biasanya karena jumlah permintaan ( _demand_ ) melebihi dari penawaran ( _supply_ ). Negara akan melakukan intervensi pasar dengan cara menambah jumlah _supply_ barang dengan menggenjot produksi dalam negeri. Cara ini akan membuat harga pasar kembali stabil.
Demikianlah, hidup layak dalam negara Islam bukan mimpi. Pangan bergizi seperti daging sapi pun leluasa tersedia setiap hari. Badan sehat mendorong rakyat semakin taat. Saatnya syariat Islam mengatur semua aspek kehidupan negara. Taat syariat tanpa tapi tanpa nanti.
Oleh Ade Aisyah A.Md
Penulis adalah member AMK, Kepala Paud Az-Zaidan dan Kepala STP Insanmulia Garut. Tinggal di Samarang Garut.