Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan ku ukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terimakasihku
Tuk pengabdianmu…
Penggalan lagu himne guru di atas senantiasa mengingatkan kita betapa besar jasa seorang guru. Karenanya predikat sebagai pahlawan tanpa tanda jasa memang sangatlah pantas disematkan kepada para guru. Ketiadaan guru adalah ancaman besar bagi peradaban, berkurangnya jumlah mereka akan mempengaruhi kualitas generasi penerus negeri ini.
Memasuki awal tahun 2021 dunia pendidikan di Indonesia masih diliputi berbagai permasalahan, salah satunya adalah kekurangan tenaga pengajar. Di Kabupaten bandung misalnya, hingga tahun 2021 mengalami kekurangan tenaga guru baik tingkat SD maupun tingkat SMP. Jumlahnya pun cukup signifikan, yaitu 7.221 untuk SD dan 1.139 untuk pendidikan agama. Jumlah tersebut belum mencakup kekurangan di tingkat SMP. Pemkab Bandung melalui Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) telah mengusulkan wacana perekrutan 1.780 orang guru dan tenaga kesehatan, guna memenuhi target 1 Juta guru yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Para tenaga pendidik tersebut diharapkan setidaknya mengenyam pendidikan S1 sehingga dapat mengikuti seleksi PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Untuk itu Pemkab Bandung tengah mempertimbangkan pemberian beasiswa bagi guru yang belum memiliki ijazah S1. (pojokbandung.com, 29/01/2021)
Dedikasi guru demi mengentaskan generasi dari kebodohan dan keterbelakangan pantas mendapatkan apresiasi dan penghargaan yang tinggi dari pemerintah dan segenap lapisan masyarakat. Guru bukan hanya mendidik dan mencerdaskan, tapi juga sebagai pengganti orang tua ketika peserta didik berada di sekolah. Akan tetapi sangat disayangkan nasib para tenaga pengajar terutama honorer tidak berbanding lurus dengan pengorbanan mereka. Berbagai aksi menuntut kenaikan gaji terus-menerus mereka perjuangkan, berharap suaranya didengarkan oleh para pemangku kebijakan. Namun keberuntungan sepertinya belum berpihak pada mereka, karena faktanya dari masa ke masa kesejahteraan guru honorer masih sebatas angan-angan.
Tuntutan kesejahteraan guru honorer adalah hal yang wajar, pasalnya penghasilan mereka dari mengajar jumlahnya sangat minim, di bawah upah minimum Kabupaten/Kota. Hal ini tentu tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan selama menempuh pendidikan untuk menjadi guru. Bahkan demi memenuhi kebutuhan hidup, tak jarang seorang guru honorer harus membuka les privat atau mengajar di dua ataupun tiga sekolah yang berbeda sekaligus.
Problematika pendidikan seperti kurikulum yang berubah-ubah, biaya mahal, sarana prasana yang minim, kualitas tenaga pengajar yang menurun termasuk kekurangan jumlahnya dari tahun ke tahun seolah tak ada habisnya. Minimnya peran negara yaitu dalam hal pembiayaan berpengararuh besar terhadap terpenuhinya kecukupan tenaga pengajar. Tenaga honorer kalaulah serius dikelola untuk memenuhi kekurangan bisa difasilitasi agar mencapai sarjana bagi yang belum sarjana dan diangkat sebagai ASN. Sebenarnya tenaga pengajar dari berbagai perguruan tinggi yang tiap tahun mengeluarkan para alumninya sangatlah mampu memenuhi kekurangan. Akan tetapi sekali lagi permasalahannya adalah di anggaran yang disediakan pemerintah tidak memadai.
Begitulah apabila paradigma kapitalis diterapkan dalam kehidupan suatu bangsa. Penguasa hanya diposisikan sebagai regulator, bukan penjamin kebutuhan rakyat. Dengan alasan kekurangan dana, dunia pendidikan dan para pendidiknya tidak menjadi prioritas. Padahal sejatinya Indonesia adalah negeri yang kaya akan sumber daya alam semisal tambang dan gas. Namun atas nama investasi korporat asing telah menghisap habis sumber daya alam Indonesia. Sumber daya alam adalah milik rakyat, yang seharusnya dikelola secara mandiri oleh negara. Dengan pengelolaan SDA yang tepat pada dasarnya akan dapat membiayai kebutuhan masyarakat termasuk masalah pendidikan.
Hal ini tentu sangat jauh berbeda dengan paradigma Islam yang memandang pendidikan sebagai kebutuhan pokok yang setara dengan sandang, pangan, dan papan sehingga negara berkewajiban penuh untuk menyediakannya secara gratis, terjamin dan berkualitas. Islam menempatkan orang yang berilmu dan tengah mengkaji ilmu pada posisi yang mulia. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
“Barangsiapa yang hendak menginginkan dunia, maka hendaklah ia menguasai ilmu. Barangsiapa menginginkan akhirat, hendaklah ia menguasai ilmu. Dan barang siapa yang menginginkan keduanya (dunia dan akhirat), hendaklah ia menguasai ilmu.” (HR. Ahmad)
Kesejahteraan guru juga menjadi prioritas utama dalam negara Khilafah. Dari Ibu Abi Syaibah, dari Sadaqah ad-Dimasyqi, dari al-Wadl-iah bin Atha, diriwayatkan bahwasanya ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak, kemudian Khalifah Umar bin Khaththab memberinya gaji lima belas dinar, dan 1 dinar setara dengan 4,25 gram emas, 15 dinar = 63,75 gram emas, jika di saat ini harga emas berkisar 900 ribu, maka gaji guru sebesar 57.375.000 per bulan. Dengan pendapatan yang lebih dari cukup, maka guru tidak perlu mencari penghasilan tambahan. Ia akan fokus pada tugasnya untuk mendidik dan mencerdaskan generasi penerus bangsa. Melalui para guru yang berkualitas inilah, sistem pendidikan Islam mampu menghantarkan generasi muslim sebagai pemimpin peradaban selama lebih dari 13 abad.
Hanya dalam naungan Islam sajalah segala permasalahan kehidupan ini akan dapat tersolusikan. Termasuk problematika yang dialami dalam dunia pendidikan. Saatnya kembali kepada Islam dengan menerapkan syariat Islam di setiap aspek kehidupan.
Wallahu a’lam bi ash shawab.