Oh Corona
Kapan kau pergi
Dari bumi ini
Badanku kini
Nggak langsing lagi
Diet gagal lagi
Kok jadi begini
Pusing kepala berbi
Sepenggal lirik lagu yang dipopulerkan oleh BRAINLY ini, sepertinya mewakili perasaan banyak orang. Sudah lebih dari sepuluh bulan lamanya, “tamu tak diundang” yang bernama virus Corona berada di sekeliling kita. Mahluk yang tidak kasat mata, dengan diameter 125 nano mikron memang bikin geregetan. Meskipun kecil ukurannya, tapi menimbulkan dampak fisikal yang luar biasa.
Hingga kini, sepak terjang virus Corona masih menjadi PR besar bagi para ilmuwan dan pakar kesehatan untuk menaklukkan virus tersebut. Berbagai kebijakan terus-menerus digulirkan oleh pemerintah Indonesia, mulai dari pelaksanaan Sosial Distancing, Penerapan Sosial Berskala Besar (PSBB), hingga pelaksanaan Darurat Sipil, New Normal, Pembatasan Sosial Berskala Mikro (PSBM), dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Sayangnya, berbagai kebijakan yang telah ditempuh terbukti nihil. Belum sanggup menekan angka penularan wabah virus Corona.
Berdasarkan worldome-ters.info, grafik kasus aktif Covid-19 Indonesia selalu melonjak dari waktu ke waktu. Sementara negara-negara lain di Asia Tenggara telah mulai menurun. Meskipun ada beberapa negara yang meningkat, tapi tidak signifikan. Sementara itu, di Benua Asia, Indonesia menempati posisi ke-4 di bawah India (10.432.526 orang), Turki (2.307.581 orang), dan Iran (1.274.514 orang). (Worldometer, Sabtu, 9/1/2021).
Baru-baru ini Pemerintah Pusat kembali mengeluarkan peraturan untuk memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) selama 14 hari. Kebijakan ini sudah mulai diterapkan sejak tanggal 11-25 Januari 2021, salah satunya di wilayah Jawa Barat.
Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil menjelaskan bahwa, kebijakan PSBB kali ini tidak berlaku bagi seluruh wilayah di Indonesia. Namun hanya diberlakukan di daerah yang kasusnya paling tinggi saja. Seperti di daerah Bogor, Depok, Kota/Kabupaten Bekasi, Kota Bandung, Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat. Sehingga tidak akan berpengaruh besar terhadap perekonomian nasional. (newsjabar.id, Kamis, 7/1/2021).
Kebijakan yang sering berubah-ubah ini, menunjukkan lemahnya komitmen dan inisiatif pemerintah pusat. Sebab, cenderung pragmatis dan tidak fokus ke sumber permasalahan. Sehingga dipastikan tidak akan menyelesaikan persoalan pandemi, seperti fakta yang terjadi saat ini. Padahal, waktu sepuluh bulan bukanlah waktu yang singkat. Seharusnya pemerintah sudah dapat menekan angka penyebaran virus Corona di negeri ini.
Salah langkah sejak awal. Inilah yang menyebabkan mengapa Indonesia hingga kini masih terseret-seret dan timbul tenggelam dalam menangani masalah pandemi virus Corona.
Dengan jumlah korban yang belum juga berkurang, malah semakin terus bertambah. Terus melonjak dan tidak terkendali. Salah satu sebabnya adalah, pemerintah kita enggan menerapkan lockdown (karantina wilayah), dengan alasan khawatir akan menghambat perkembangan ekonomi. Padahal, konsep lockdown adalah metode yang berasal dari ajaran Islam, yang terbukti paling tepat untuk mengatasi masalah pandemi (wabah) di suatu wilayah.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kamu memasukinya, dan jika terjadinya wabah di tempat kamu berada, maka janganlah tinggalkan tempat itu.” (H.R.Bukhori).
Selama ini pemerintah terkesan lebih fokus mengurus pada perubahan istilah penerapan aturan demi aturan. Hanya sekadar berpindah-pindah istilah (ganti-ganti nama) dalam mengatasi masalah wabah yang semakin meluas.
Seolah masyarakat diajak untuk bermain-main dalam lingkaran labirin raksasa, yang membuat mereka sulit keluar dari lingkaran pandemi.
Sikap pemerintah yang sedemikian ini, semakin menunjukkan ketidakmampuan penguasa (pemerintah) dalam menyelesaikan persoalan pandemi. Banyak pihak yang menilai bahwa kebijakan yang diambil pemerintah tidak terarah. Terkesan plin-plan dan tidak konsisten.
Bahkan, semakin mengarah ke “Herd Imunity”.
Lagi-lagi rakyat dibuat “resah” dengan kebijakan pemerintah, yang kini sudah mulai melancarkan program vaksinasi. Pasalnya, keberadaan vaksin itu sendiri, masih belum lolos uji klinis. Bolak balik aturan, antara PSBB, PSBM, dan PPKM, kemudian kembali lagi ke PSBB, jelas menimbulkan tanda tanya besar bagi masyarakat.
Rakyat butuh figur pemimpin yang bertanggung jawab, amanah, tegas, dan peduli dengan nasib rakyatnya. Namun sistem yang ada saat ini, yakni demokrasi-kapitalisme, terbukti tidak mampu melahirkan pemimpin-pemimpin ideal semacam itu. Sebab, demokrasi adalah sistem rusak dan merusak, karena berasal dari buah pikir manusia.
Sebuah sistem yang selalu berorientasi materi semata, yang telah nyata hanya akan melahirkan para penguasa yang abai terhadap nasib rakyatnya. Bahkan dalam kasus penanganan pandemi ini, nyawa rakyat seolah menjadi sangat murah dan tidak berarti. Sehingga wajar saja, jika pemerintah lebih memilih untuk menerapkan kebijakan Herd Imunity, dibanding dengan melaksanakan kebijakan lockdown, yang jelas-jelas merupakan solusi tepat dan mendatangkan kemaslahatan bagi seluruh rakyat.
Oleh karena itu, sudah selayaknya negara menerapkan sistem Islam (khilafah), yang akan mengubah tatanan dunia yang kelam ini, menjadi terang benderang. Sebagaimana dahulu Islam telah memimpin dunia selama 1300 tahun lamanya, dengan cara menerapkan syari’at Islam secara kafah dalam setiap aspek kehidupan.
Sehingga terwujud negeri yang diberkati dan dirahmati Allah Swt. Baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur.
Wallahu a’lam bishshawab.
Oleh : Sumiyah Ummi Hanifah
Member AMK dan Pegiat Literasi