GUBERNUR DKI Jakarta Anies Baswedan diamanatkan untuk memperpanjang izin reklamasi Pulau G di pesisir Jakarta Utara. Amanat itu tertuang dalam keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak peninjauan kembali (PK) yang dimohonkan Anies atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dengan nomor perkara 4/P/FP/2020/PTUN. Sengketa perizinan reklamasi Pulau G berawal ketika PT Muara Wisesa Samudera menggugat Anies lantaran tak kunjung menerbitkan perpanjangan izin reklamasi Pulau G (m.bisnis.com, 10/12/2020).
Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta Gilbert Simanjuntak meminta Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengikuti putusan Mahkamah Agung (MA) mengenai izin reklamasi Pulau G. Gilbert mengatakan, izin reklamasi selama ini kerap menjadi kontroversi. Oleh sebab itu, kata dia, seharusnya saat ini Anies mengikuti putusan MA yang mengharuskan memperpanjang izin atas pemegang izin PT Muara Wisesa Samudra. Kontroversi yang dimaksud yakni, Anies sejak awal menolak perpanjangan izin reklamasi di teluk Jakarta. Namun, belakangan, Anies malah menerbitkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 237 Tahun 2020 tentang Perluasan Kawasan Dufan dan Ancol. Perluasan Ancol itu sempat menjadi polemik beberapa bulan lalu. Sebab, reklamasi Ancol itu bertentangan dengan sikap Anies yang sejak awal menolak reklamasi teluk Jakarta. Meski begitu, Anies meluruskan polemik tersebut dan menyatakan jika tujuan reklamasi Ancol berbeda dari tujuan reklamasi 17 pulau (m.cnnindonesia.com, 11/12/2020).
Dalam sistem demokrasi kapitalisme, mengabaikan suara rakyat adalah hal yang biasa. Karena sejatinya pemegang kekuasaan tertinggi adalah para pemilik modal yang sudah berjasa pada orang-orang yang berhasil duduk di bangku pemerintahan. Maka percuma saja jika orang setingkat Gubernur pada sistem hari ini menyuarakan aspirasi rakyat yang malah dibatalkan oleh lembaga yudikatif.
Kuatnya pengaruh kepentingan pada kasus reklamasi ini pun menunjukkan bahwa dalam sistem demokrasi kapitalisme, kemenangan adalah hanya untuk orang-orang yang memiliki uang sehingga mampu membayar kemenangan atas kasus ini.
Dalam pandangan Islam, haram hukumnya ketika hak kepemilikan umum dialih fungsikan kepada individu atau kelompok. Karena danau, kawasan pesisir, dan laut merupakan harta milik umum. Harta milik umum itu dalam ketentuan syariah tidak boleh dikuasai individu, kelompok atau korporasi.
Dalam Islam pun Negara yang akan mengelola kepemilikan umum kemudian hasilnya dikembalikan lagi kepada masyarakat, agar bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan masyarakat di dalam Daulah.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَ رْضِ ۗ وَاِ نْ تُبْدُوْا مَا فِيْۤ اَنْفُسِكُمْ اَوْ تُخْفُوْهُ يُحَا سِبْكُمْ بِهِ اللّٰهُ ۗ فَيَـغْفِرُ لِمَنْ يَّشَآءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَّشَآءُ ۗ وَا للّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
“Milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Jika kamu nyatakan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu sembunyikan, niscaya Allah memperhitungkannya (tentang perbuatan itu) bagimu. Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki dan mengazab siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 284).
Untuk itu, kembalilah pada sistem Islam yang sudah jelas memberikan jaminan kebaikan dunia dan akhirat. Yang selama 1300 tahun lamanya, serta menguasai hampir 2/3 dunia tak pernah lalai dalam menjamin segala sesuatu yang dibutuhkan masyarakatnya ketika tak bertentangan dengan aturan Allah SWT.
Wallahualam Bishawab.