DALAM beberapa hari terakhir lonjakan kasus pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia semakin tinggi. Pelaksana Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kementerian Kesehatan Budi Hidayat, menjelaskan melonjaknya Covid-19 karena data yang dilaporkan ganda, serta terjadi penumpukan pada kasus Covid-19. Per tanggal 9 Desember 2020 saja dikabarkan 5.292 kasus positif sehingga terhitung 593.000. Belum lagi jumlah pasien yang meninggal bertambah 133, sehingga menjadi 18.171 orang. (MuslimahMediaCenter, 10/12/2020)
Menyikapi lonjakan data Covid-19 yang semakin tinggi, Presiden Joko Widodo saat memimpin rapat terbatas pada Senin, 30/11/2020 nampak kesal. Hal itu terlihat dari raut wajahnya yang masam, sesekali dahinya mengernyit usai melihat laporan kasus Covid-19 yang melonjak tajam di Indonesia. Di sebelah kirinya dengan jarak dua meter, hadir Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Mendampingi sebelah kanannya hadir Mensesneg Pratikno. Di depannya, ada Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia (Menko PMK) Muhadjir Effendy dan Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan serta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani. Dalam rapat itu Jokowi mengungkapkan dan menyinggung data aktif meningkat menjadi 13,41 persen, dibandingkan minggu lalu yang masih 12,78. (Liputan.6,com, Senin 30/11/2020)
Carut marut dalam lonjakan Covid-19 yang diakibatkan penumpukan data telah membingungkan publik. Sebab, data yang dilaporkan Kementerian Kesehatan berbeda dengan data yang disajikan pemerintah daerah. Misalnya, Papua, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Menurut Budi Hidayat Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) data yang dilaporkan dinas kesehatan daerah ganda. Selain itu terjadi penumpukan data Covid-19. “Double input (data kasus Covid-19),” katanya, sebagaimana dilansir dari merdeka.com, (4/12/2020).
Sungguh bukan hal yang aneh, jika terjadi carut marut dalam penanganan Covid-19. Sebab, dari awal muncul pandemi ini pemerintah seolah-olah meremehkan penyebaran virus Covid-19. Mereka tidak segera mengambil kebijakan untuk memutus penyebaran Covid-19. Bahkan ada sebagian pejabat negara menjadikan guyonan ataupun sesumbar dengan virus yang cukup meresahkan masyarakat Indonesia. Sedari awal munculnya wabah ini seharusnya pemerintah sigap mengambil kebijakan yang akurat, agar wabah ini tidak terus berkelanjutan dan membuat korban tidak semakin bertambah. Dengan melakukan langkah tracing (memisahkan yang sakit dengan yang sehat), negara tidak akan lagi mengalami kebingungan soal salah data. Langkah tracing sendiri cukup ampuh untuk menanggulangi salah input data mengenai Covid-19 dan negara akan memiliki data yang akurat untuk membuat perencanaan dan tindakan yang tepat.
Tidak seperti yang terjadi pada saat ini ketika terjadi lonjakan Covid-19 justru pemerintah kalang kabut dan saling tunjuk dengan data yang dimiliki. Dikarenakan abainya pemerintah dalam memutus tersebarnya Covid-19, dan masyarakat yang kurang paham seperti apa gejala-gejala tersebut, sehingga dalam masa wabah, masyarakat masih beraktifitas seperti biasa.
Data yang tidak akurat berakibat fatal bagi masyarakat lainnya. Nyawa masyarakat menjadi taruhan karena penyebaran virus yang melonjak sangat cepat. PSBB yang pernah diberlakukan justru berefek terhadap perekonomian yang melemah, begitupun dengan new normal justru menimbulkan klaster baru, karena tidak disertai pemisahan yang sakit dengan yang sehat.
Negara dalam sistem demokrasi kapitalis terbukti telah gagal menghadapi pandemi ini dan gagal menyelamatkan nyawa dari rakyatnya. Bukannya mencari solusi agar lonjakan tidak terus meningkat, malah mereka sibuk mengurusi kepentingan sendiri yang menurutnya menguntungkan bagi kekuasaan dan ekonominya agar tetap bertahan dalam jabatannya. Semua itu tampak nyata dalam kebijakan yang dibuat dalam Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona. Dalam Perpu tersebut pemerintah mengalokasikan anggaran yang justru berorentasi pada sektor ekonomi. Pemerintah mengklaim telah mengalokasikan dana sebesar Rp 405,1 triliun di bidang kesehatan, namun nyatanya hanya Rp 75 triliun yang secara langsung berhadapan dengan wabah Covid-19. Tentunya jauh lebih kecil dengan anggaran untuk jaring pengaman sosial sebesar Rp 110 triliun, untuk pemulihan ekonomi nasional Rp 150 triliun dan sebesar Rp 70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus Kredit Usaha Rakyat (KUR). Menjadi suatu yang tak lazim, menurut perpu ini pejabat yang mengeluarkan kebijakan tidak bisa dituntut baik pidana maupun perdata. Kebijakan ini pula tidak bisa digugat ke PTUN karena uang yang dikeluarkan tidak bisa dianggap kerugian negara.
Jelas sekali Perpu ini lebih tepat disebut sebagai kebijakan untuk menyelamatkan keuangan negara dan memberikan imunitas kepada pejabat negara, ketimbang menyelamatkan nyawa masyarakat dari ancaman Covid-19. Parahnya lagi di tengah lonjakan Covid-19 pemerintah masih nekad untuk mengadakan pilkada, dengan dalih tidak ada Undang-Undang yang mengatur penundaan pilkada di masa wabah.
Inilah bukti zalimnya sistem demokrasi sekularisme yang dibuat oleh hasil suara manusia, yang tidak peduli bahkan menyengsarakan masyarakat. Sehingga kebijakan-kebijakan yang diterapkan hanya untuk melanggengkan kekuasaan penguasa dan pemilik modal saja. Kalau saja bisa dicermati dengan teliti, lonjakan yang terjadi pada kasus Covid-19 bukan kesalahan dari menginput data, melainkan dari sistem yang dianutnya. Rezim demokrasi lebih berorentasi pada reputasi (harga mati) dibanding bertindak nyata. Sistem demokrasi telah mengalami kegagalan total dalam menghadapi wabah yang tidak kunjung usai.
Dunia dan umat saat ini membutuhkan sistem alternatif sebagai solusi, untuk menyelamatkan nyawa manusia agar tidak banyak korban yang berjatuhan. Solusi alternatif itu sudah terbukti sejak 13 abad lalu, telah mampu menangani wabah agar tidak meluas ke wilayah lainnya. Dalam sejarah sudah terbukti sistem terbaik itu ada dalam negara Islam.
Dalam pandangan Islam, syariat telah menetapkan untuk urusan kebutuhan masyarakat adalah tanggung jawab negara, terutama dalam masa wabah. Sebab keamanan nyawa dari setiap rakyat menjadi prioritas agar tidak banyak korban. Pemimpin dalam negara Islam paham betul terhadap amanah yang diembannya tersebut akan diminta pertanggungjawaban, jadi nyawa dari setiap umat sangat berharga.
Rasulullah saw. bersabda: “Seorang imam (pemimpin) adalah ra’in (penggembala) dan dia bertanggung jawab atas gembalaannya (rakyatnya).” (HR. al-Bukhari)
Tidak seperti dalam sistem demokrasi yang berlepas tangan mengurusi umat. Saat terjadi pandemi seperti ini, negara dalam Islam akan hadir secara langsung. Dengan mengutamakan keselamatan umat dibanding kepentingan yang lain. Sikap ini menjadi salah satu wujud penerapan syariat Islam, sebagaimana dalam salah satu hadis: “Sungguh hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seseorang tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan disahihkan al-Albani)
Maka saat terjadi awal pandemi, pemimpin dalam Islam akan berusaha memutus penyebarannya dengan langkah lockdown lokal sesuai dengan anjuran dan contoh dari Rasulullah saw. Negara akan segera memisahkan orang yang sakit dan yang sehat. Tentunya langkah ini sangat efektif untuk mencegah tersebarnya virus dan tidak meluas ke wilayah lain. Negara akan bersungguh-sungguh mengawasi orang-orang yang terinfeksi. Serta melakukan rapid tes dan swab tes agar diketahui mana yang sakit dan mana yang sehat. Itupun dengan gratis tidak akan dikenakan beban biaya kepada masyarakat, sehingga negara benar-benar mempunyai data yang valid.
Begitulah hidup dalam sistem Islam, seorang pemimpin akan menjalankan setiap amanah sesuai dengan yang telah di tetapkan Allah Swt. dan Rosul-Nya. Jadi tidak ada pada masa itu dari seorang pemimpin yang berpikir mencari keuntungan dengan mengabaikan keselamatan dan kebutuhan rakyat.
Inilah salah satu sebab Islam menjadi mercusuar peradaban pada masa itu dengan kegemilangannya mampu memberikan kesejahteraan, apalagi dalam masa-masa sulit menghadapi wabah. Lantas sebagai muslim tidakkah kita rindu dengan peradaban itu? Sudah saatnya umat menyongsong kejayaan Islam dalam institusi negara Islam, yang akan dipimpin seorang pemimpin yang peduli terhadap rakyat dan menerapkan hukum-hukum Allah secara kaffah.
Wallahu’alam bish shawwab.
Oleh: Khatimah
Ibu Rumah Tangga dan Member AMK