Dinasti Politik Demokrasi: Terlalu Sayang untuk Dilewatkan

BEBERAPA waktu lalu, orang nomor satu di DKI Jakarta, memposting foto dirinya yang sedang menikmati membaca buku ‘How Democracies Die’. Buku terbitan 2018, karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt ilmuwan politik dari Universitas Harvard. Adapun isinya tentang bagaimana para pemimpin terpilih dapat secara bertahap menumbangkan proses demokrasi untuk meningkatkan kekuasaan mereka. Salah satu yang akan menjadi sorotan kali ini bukan pada isi bukunya. Akan tetapi memandang sama terhadap demokrasi yang akan berakhir tragis. Keberadaan demokrasi yang melegalkan adanya dinasti politik terlalu sayang untuk dilewatkan. Maka tak heran berbondong-bondonglah para pejabat dan mantan pejabat dengan menggandeng anak, mantu, cucu ataupun saudara-saudaranya demi memenangi pesta politik lima tahunan tersebut.


Saat ini dinasti politik yang sedang viral adalah tertuju kepada keluarga nomor satu di Indonesia yaitu Presiden Joko Widodo. Dilansir dari kata-kata.co.id, (17/12/2020) pada Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahun 2020 berdasarkan hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei dan Sistem Informasi dan Rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (Sirekap KPU) menyebutkan Gibran Rakabuming Raka yang tidak adalah putra sulung orang nomor satu di Indonesia. Ia berpasangan dengan Teguh Prakosa yang menang telak dari pasangan Bagyo-Supardjo di Pilwalkot Surakarta. Hal ini berdasarkan hasil hitung cepat Charta Politika yang mengantongi 87,15% suara. Tidak berhenti sampai disini, menantu Jokowi, Bobby Nasution yang berpasangan dengan Aulia Rachman pun unggul atas pasangan Akhyar Nasution-Salman Al Farisi di Pilwalkot Medan. Lembaga hitung cepat Charta Politika pun menyebutkan Pasangan Bobby-Aulia mengantongi 55,29% suara. Hal ini akan menjadi sejarah bagi bangsa ini, bahwasanya kemenangan Gibran akan menjadikan Jokowi sebagai presiden pertama di Indonesia yang memiliki anak menjabat kepala daerah. Hal ini akan semakin menunjukkan penguatan dinasti politik di Indonesia.

Kemenangan keluarga petahana dalam Pilkada 2020, menegaskan bahwa demokrasi tak bisa melepaskan diri dari politik dinasti. Perlu diketahui pula sistem demokrasi saat ini, tidak ada larangan untuk menguatkan posisi kekuasaan lewat dinasti politik. Sebutlah keluarga dari presiden pertama Indonesia yaitu, Soekarno. Soekarno (Ayah; Presiden 1945–1967), lalu ada Megawati Soekarnoputri (anak; Presiden 2001–2004) dilanjutkan Taufiq Kiemas (mantu dan suami Megawati; Ketua MPR 2009–2013). Lalu Puan Maharani (cucu anak Megawati; Ketua DPR), tak ketinggalan Guruh Soekarnoputra (anak; anggota DPR). Ada juga Puti Guntur Soekarno (keponakan Megawati dan Guruh; anggota DPR) dan Rachmawati Soekarnoputri (anak; Anggota Dewan Pertimbangan Presiden 2007-2009).

Perlu diketahui bahwasanya dinasti politik yang terjadi saat ini adalah secara tidak langsung memberikan kekuasaan yang secara turun temurun dilakukan dalam kelompok keluarga yang masih terikat dengan hubungan darah. Adapun tujuannya adalah sekedar untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaannya. Dengan demikian, dinasti politik ini seperti pergantian kepemimpinan mirip kerajaan. Hal ini dikarenakan kekuasaan ini sengaja diwariskan secara turun temurun dari pemilik dinasti kepada ahli warisnya. Sehingga kekuasaan tersebut tetap berada di lingkungan keluarga.

Salah satu pencegahan terbentuknya dinasti politik ini, DPR Indonesia yang menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, mencanangkan pengesahan undang-undang yang baru untuk melarang seseorang memegang jabatan tinggi selama lima tahun setelah masa jabatan kerabatnya selesai. Namun ini hanya sekedar wacana. Hal ini dikarenakan dinasti politik ala demokrasi ini, sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja. Para kaderisasi yang selama ini dibina oleh partai politik akan mudah tersaingi oleh kepopuleran dan kekerabatan sang pejabat. Walhasil, baik dalam bentuk negara atau sistem apapun, jika dasarnya adalah sistem sekuler/sekularisme atau pemisahan agama dari kehidupan yang sudah jelas bukan dari Islam. Tidak mampu mewujudkan kehidupan sejahtera.

Perlu diketahui bentuk khilafah sebagai negara kesatuan, tetapi bukan federasi atau commenwealth. Khilafah sebagai sistem pemerintahan dan struktur negara ini dibangun oleh Nabi SAW. Selanjutnya diwariskan kepada para sahabat. Ketika wilayah Negara Islam yang dipimpin Nabi saw. Telah mencapai seluruh Jazirah Arab, hukum yang diterapkan hanya satu untuk seluruh wilayah. Hal yang sama ketika negara ini dipimpin oleh para sahabat dan para khalifah setelah mereka. Ini berbeda dengan sistem federasi, yang masing-masing wilayah mempunyai hukum yang berbeda. Khilafah juga bukan commenwealth karena berbagai wilayah yang dibebaskan oleh khilafah bukan berstatus sebagai koloni, atau bekas koloni.

Sistem pemerintahan yang dianut oleh Negara Khilafah juga bukan republik, monarki, parlementer, demokrasi, teokrasi maupun autokrasi. Sistem Khilafah dipimpin oleh khalifah, bukan oleh presiden, sebagaimana sistem republik; tidak dipimpin oleh raja, sebagaimana dalam sistem monarki; juga bukan oleh perdana menteri, sebagaimana dalam sistem parlementer. Kedaulatannya pun di tangan syariah, bukan di tangan manusia, sebagaimana dalam sistem demokrasi. Khalifah juga bukan titisan atau wakil Tuhan, maksum (manusia setengah dewa), sebagaimana dalam sistem teokrasi. Kekuasaan khalifah juga terbatas, dibatasi oleh syariah, tidak bersifat mutlak sebagaimana dalam sistem autokrasi dan diktator.

Memang dalam praktik pengambilan baiat ketika pengangkatan khalifah saat itu, ada yang tepat dan ada yang menyalahi aturan. Namun, ini masalah human error dan tidak ada kaitannya dengan sistem Islam atau sistem pemerintahannya itu sendiri karena sistemnya sudah jelas dan baku. Sebagai contoh, kesalahan Muawiyah saat mengambil baiat dari umat untuk Yazid bin Muawiyah, yang notabene anak dari Muawiyah ini. Saat pengangkatannya dilakukan dengan menggunakan senjata dan harta. Ini jelas merupakan human error. Begitu seterusnya. Inilah yang terjadi dalam sejarah Khilafah Bani Umayah, ‘Abbasiyah dan ‘Utsmaniyah. Karena itulah Nabi saw. mengisyaratkan dengan istilah, “mulk[an] ‘adhdh[an]” (kekuasaan yang mengigit/zalim).

Dengan demikian Negara Khilafah adalah negara yang sangat jelas bentuk, sistem pemerintahan dan strukturnya. Karena itu hanya orang yang buta saja yang tidak bisa melihatnya, atau dibutakan mata hatinya oleh Allah SWT, sehingga tidak mau tahu ajaran agamanya.

WalLâhu a’lam.

Oleh : Siti Aisah, S. Pd
(Praktisi Pendidikan Kabupaten Subang)

 

Loading...

loading...

Feeds

DPRD Setujui 2 Raperda Kota Bandung

POJOKBANDUNG.com, BANDUNG – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bandung resmi menyetujui dua Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pada Rapat Paripurna …