MENDENGAR kabar sekolah akan dibuka setelah sekian lama pembelajaran dilakukan secara daring, mengundang kekhawatiran yang tak bisa ditutup-tutupi. Entah harus bersuka ria ataukah menangis menghiba. Kondisi pandemi serta penyebaran Covid-19 yang belum mereda menjadi penyebab kegundahan melanda, sejuta tanya terbersit begitu saja, akankah tatap muka aman dari penyebaran virus?
Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda mengungkapkan sekolah dengan pembelajaran tatap muka akan kembali dibuka pada Januari 2021. Komisi X menyambut baik rencana pembukaan sekolah tersebut. Namun Huda menekankan perlunya penerapan protokol kesehatan Covid-19 yang ketat.
“Kami mendukung pembukaan sekolah untuk pembelajaran tatap muka. Tetapi hal itu harus dilakukan dengan protokol kesehatan ketat karena saat ini penularan wabah Covid-19 masih terus berlangsung. Bahkan menunjukkan tren peningkatan dalam minggu-minggu terakhir ini,” ujar Huda. (Detiknews.com, Jumat, 20/11/2020)
Jika pemerintah merasakan bagaimana sulitnya pembelajaran jarak jauh hingga dampak yang ditimbulkannya, tentunya sejak jauh-jauh hari telah memberikan solusi jitu agar rantai virus segera berakhir. Namun alih-alih memberlakukan kebijakan tegas memutus virus corona justru masyarakat dihadiahi gonta-gantinya kebijakan dari mulai social distancing, phisycal distancing, PSBB, serta new normal. Apa yang terjadi? Virus terus menelan korban. Baik dengan gejala ataupun tanpa gejala (OTG).
Wacana dibukanya sekolah tatap muka mungkin sangat dirindukan para siswa dan para guru. Lelah dan penat belajar luring sebelum pandemi sepertinya tak seberat belajar daring. Permasalahan terus muncul tidak saja dari aspek kepemilikan gawai, sinyal, kuota internet dan akses internet di daerah terpencil tak luput dari pemberitaan.
Tak cukup sampai di situ, beragam kasus depresi hingga berujung hilangnya nyawa akibat ketidaksabaran orangtua mendampingi anaknya daring atau bunuh diri akibat tugas menumpuk sementara pulsa dan kuota internet tidak ada juga mewarnai kelamnya kehidupan rakyat tanpa perhatian negara. Jikapun ada, negara lebih fokus menggenjot ekonomi dengan beragam investasi dan kerjasama ribawi. Inilah titik poin mengapa paham demokrasi kapitalisme yang dianut suatu negara minim empati. Paham tersebut memiliki watak tidak peka pada derita dan kebutuhan rakyat tapi hanya pada kelompok pemodal berbasis sekuleristik.
Negara yang seharusnya bertanggung jawab penuh mengurusi masalah publik bisa dengan mudah melepaskan hal itu. Maka jika negara penganut paham demokrasi kapitalis tidak mampu mengurusi umat, berkacalah pada sistem pemerintahan Islam.
Negara berbasis akidah Islam dalam mengurusi urusan publik (riayah suunil ummah) memiliki kiat-kiat spektakuler atasi wabah sekaligus memulihkan perekonomian masyarakat, diantaranya adalah :
Pertama, negara akan mencari cara bagaimana memutus rantai wabah dengan memilah mana yang sakit mana yang sehat. Di samping itu negara juga akan melakukan tes secara masif ke seluruh elemen masyarakat agar diketahui secara jelas statusnya, bebas virus atau terinfeksi virus. Kegiatan ini memudahkan negara memetakan wilayah mana sekolah tatap muka dan mana yang masih butuh belajar di rumah.
Kedua, edukasi terkait kesadaran masyarakat berupa ruhiyahnya (spiritual), emosional serta intelektualnya akan terus disosialisasikan. Mengingat langkah ini sangat penting agar masyarakat memahami bahwa pandemi bagian dari ujian dan bagaimana menyikapinya sesuai arahan syariat dan ikhtiar medis.
Ketiga, negara berupaya memfasilitasi dan memenuhi kebutuhan rakyat semaksimal mungkin dengan mengerahkan dana dari baitul mal (kas negara) atau pos lainnya semisal ghanimah, kharaj, fa’i dan hasil pengelolaan kekayaan alam.
Tak kalah pentingnya, negara akan menyediakan kebutuhan guru dan peserta didik dalam mendukung belajar daring (online) dengan kemudahan aksesnya semisal internet dan kuota gratis.
Keempat, pendidikan berbasis akidah senantiasa dijadikan target pembelajaran guna mewujudkan syakhsiyah islamiyah dengan pola pikir dan pola sikap isami. Dengan target ini kegemilangan peradaban bersama siswa dan siswinya yang berkarakter mulia akan menjadi output membanggakan bagi dunia Islam.
Demikianlah langkah-langkah praktis yang seharusnya dilakukan negara. Jauh sebelumnya praktik karantina serta isolasi bagi yang sakit telah dicontohkan Rasulullah saw. lalu diikuti masa kekhilafahan Umar bin Khattab ra. saat dihadapkan pada wabah Tha’un Amwas. Wabah yang memakan puluhan ribu jiwa hingga Umar ra. sebagai kepala negara terjun langsung melayani rakyatnya yang membutuhkan bantuan.
Jika hari ini keresahan publik tak pernah sirna dikarenakan kebijakan negara meniadakan pengaturan urusan umat secara maksimal, tidak berlandaskan akidah melainkan keuntungan dan manfaat maka sampai kapanpun program dan wacana yang digulirkan pemerintah tak akan bersifat solutif, hanya parsial jika pun dianggap berhasil karena prioritas negara fokus menggenjot ekonomi dan investasi.
Inilah perbedaan mendasar negara penerap syariat dalam menjalankan fungsinya sebagai raain (pengurus rakyat) dengan negara penganut demokrasi kapitalisme.
Allah SWT tidak akan merubah kondisi suatu bangsa atau negara jika bukan bangsa itu sendiri yang mengupayakannya (QS. Ar-ra’d :11). Pun halnya bahwa Allah telah memberikan aturan dan fasilitas di muka bumi, sudah selayaknya manusia membangun perubahan hakiki dalam segala aspeknya terikat dengan perintah dan larangan-Nya agar keberkahan dari langit dan bumi terlimpah ruah ke tengah masyarakat (QS. Al A’raf: 96).
Semua prinsip tersebut akan terlaksana jika negara menerapkan syariat Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahu a’lam.
Oleh : Uqie Nai
Alumni Branding for Writer 212