Benarkah, Omnibus Law Menusik Standar Halal?

Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law sampai saat ini terus menjadi perbincangan. Dengan disahkannya Undang-Undang ini, maka akan terus mendapat penolakan dari berbagai elemen masyarakat yang membuat polemik semakin memanas. Salah satunya kebijakan yang dikritisi adalah pengubahan sertifikat halal. Jika sebelumnya hanya dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), dengan adanya Undang-Undang Ciptaker ini memberikan alternatif sertifikat halal dapat diberikan ke Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (BPJPH).

Seperti yang dilansir oleh rri.co.id, Rabu (14/10/2020), Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau Omnibus Law mengubah sistem penerbitan sertifikat halal. Jika sebelumnya sertifikat halal hanya dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), kini UU Ciptaker memberi alternatif sertifikat halal dapat diberikan ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

Terkait hal itu, Anggota Komisi Fatwa MUI Aminudin Yakub menilai, kebijakan tersebut sangat berbahaya karena mengeluarkan sertifikat halal tidak bisa disamaratakan dengan satu produk dengan produk lainnya.
“Bagaimana BPJH mengeluarkan sertifikat halal, kalau itu bukan fatwa. Ini bisa melanggar syariat, karena tidak tau seluk beluk sertifikasi,” kata Aminudin dalam dialog kepada PRO-3 RRI, Rabu (14/10/2020).

“Waktu sertifikasi tidak bisa pukul rata. Karena dalam auditnya, bahan-bahan dari produk itu berbeda. Tentu, kalau bahan yang dipakai ada sertifikasi halal lebih mudah. Tapi kalau tidak kita sarankan untuk mengganti bahan baku,” tambahnya.
Diketahui, ada sejumlah perbedaan mengenai ketentuan sertifikasi halal yang tertuang di UU Cipta Kerja dengan UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Dalam Pasal 14 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, dijelaskan mengenai pengangkatan auditor halal oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Auditor halal adalah orang yang memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan kehalalan produk. Sedangakan, LPH adalah lembaga yang melakukan kegiatan pemeriksaan dan/atau pengujan terhadap kehalalan produk.

Ada sejumlah persyaratan pengangkatan auditor halal oleh LPH, yakni:
(a) Warga negara Indonesia
(b) Beragama Islam
(c) Berpendidikan paling rendah sarjana strata 1 (satu) di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, atau farmasi
(d) Memahami dan memiliki wawasan luas mengenai kehalalan produk menurut syariat Islam
(e) Mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi dan/atau golongan
(f) Memperoleh sertifikat dari MUI
Namun, pada UU Cipta Kerja, persyaratan poin (f) ditiadakan. Sehingga, dalam pengangkatan auditor halal hanya berlaku lima persyaratan saja.

Bab V Pasal 29 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menjelaskan mengenai tata cara memperoleh sertifikat halal. Pada pasal 29 ayat (1) dijelaskan permohonan sertifikat halal diajukan pelaku usaha secara tertulis kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Pasal 29 ayat (2) disebutkan, permohonan sertifikat halal harus dilengkapi dengan dokumen data pelaku usaha, nama dan jenis produk, daftar produk dan bahan yang digunakan, dan proses pengolahan produk. Kemudian, Pasal 29 ayat (3) berisi ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan sertifikat halal diatur dalam peraturan menteri.

Tetapi, dalam UU Cipta Kerja, ketentuan mendapatkan sertifikat halal pada Pasal 29 ayat (3) diubah menjadi jangka waktu verifikasi permohonan sertifikat halal dilaksanakan paling lama 1 hari kerja. Selain itu, pada Pasal 35 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal disebutkan sertifikat halal diterbitkan BPJPH paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak keputusan kehalalan produk diterima dari MUI.
Namun, pada UU Cipta Kerja, Pasal 35 diubah menjadi sertifikat halal sebagaimana Pasal 34 ayat (1) dan Pasal 34A diterbitkan oleh BPJPH paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak fatwa kehalalan produk.

Sementara itu, ada pasal yang disisipkan antara Pasal 35 dan Pasal 36, yakni Pasal 35A pada UU Cipta Kerja. Pasal 35A ayat (1) berbunyi, apabila LPH tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses sertifikasi halal, maka LPH tersebut akan dievaluasi dan/atau dikenai sanksi administrasi.

Selanjutnya, Pasal 35A ayat (2) dijelaskan, apabila MUI tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses memberikan/menetapkan fatwa, maka BPJPH dapat langsung menerbitkan sertifikat halal.

Jeratan sistem kapitalis sekularis telah menjadikan penguasa negeri menimbang segala sesuatu dengan untung rugi. Tidak peduli hal itu melanggar norma dan aturan agama. Sertifikasi yang dinilai oleh para kapitalis ataupun pengusaha menjadi batu sandungan dalam meloloskan suatu produk. Kini dengan adanya UU Ciptaker menjadi angin segar bagi kelancaran proses pembuatan sampai pendistribusian ke konsumen. UU Cipta Kerja ini memungkinkan untuk mendeklarasikan sendiri kehalalan produknya dan mengesampingkan sertifikasi halal dari MUI.

Hal inilah menjadi bukti boroknya sistem sekuler kapitalis. Penguasa abai memberi rasa tenang terhadap rakyat. Penguasa hanya menjadi alat para kapitalis untuk memuluskan UU demi kepentingan mereka. Negara hanya akan mementingkan pendapatan (income) besar tanpa peduli halal atau haram. Saat ini banyak sekali produk-produk luar negeri yang tidak jelas kehalalannya, bahkan tidak jarang tanpa cap halal dari MUI.

Dalam Islam perkara kehalalan menjadi prinsip hidup sebagaimana tercantum firman Allah Swt. yakni:

“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.” (TQS. Al Baqarah[2]: 168).

Perintah untuk memilih makanan dan minuman yang halal lagi baik telah di nashkan dalam Al-Qur’an. Sehingga, kehalalan dari suatu produk menjadi bagian dari keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Bukan hanya sebatas pada label ataupun sertifikasi semata.

Bahkan Islam akan menjamin bahwa barang-barang yang beredar di pasar benar-benar halal. Hal ini dilakukan agar masyarakat tidak lagi mengalami kebingungan membedakan produk yang halal dan haram.

Di dalam sistem Islam tidak akan membiarkan siapa pun mencari keuntungan dari sesuatu yang haram. Bahkan akan memberi sanksi kepada lembaga atau per orangan yang menyelundupkan barang-barang yang haram. Ini lah sistem Islam dengan seperangkat aturannya, yang akan menjadi solusi dalam semua permasalahan umat.

Namun, selama kita menggunakan sistem yang rusak, selama itu pula akan timbul banyak permasalahan. Oleh karenanya, untuk segera menggantinya dengan sistem Islam, sebagai sistem terbaik yang berasal dari Allah Subhaanahu wa ta’ala. Mari kita tinggalkan sistem bobrok ini dan kembali pada sistem yang diturunkan Allah Swt. Yaitu, sistem Islam yang menerapkan syariat secara kafah sebagai solusi permasalahan umat.

Wallahu a’lam bishshawab.

Oleh : Eviyanti
Pendidik Generasi dan Member Akademi Menulis Kreatif

loading...

Feeds

POJOKBANDUNG.com – Indosat Ooredoo Hutchison (Indosat atau IOH) mengumumkan kerja samanya dengan Universitas Pasundan (Unpas) melalui penandatangan Nota Kesepahaman (Memorandum …