INDONESIA dilanda pilu, awal pekan Oktober lalu para buruh mogok kerja dan turun ke jalan untuk melakukan aksi demonstrasi. Bukan hanya mereka mahasiswa bahkan pelajar pun turut andil menyuarakan ketidakadilan yang diakibatkan pengesahan UU Ciptaker.
Disahkannya undang-undang Omnibus Law menjadi pemicu kemarahan para buruh dan beberapa elemen masyarakat. Pasalnya, UU ini dinilai banyak merugikan terutama para buruh. Poin-poin Omnibus Law justru tidak memihak para pekerja. Karena kesejahteraan mereka dipangkas, padahal selama ini kalangan buruh sudah banyak mengalami kesulitan agar dapat hidup layak, apalagi di masa pandemi yang tak kunjung usai. Sungguh wajar jika aksi protes terus memadati jalanan, karena mereka menyuarakan haknya tak ingin terus tertindas.
Padahal tuntutan mereka bukan menginginkan kendaraan mewah atau jalan-jalan ke luar negeri. Mereka menyuarakan haknya yang dirampas sehingga rela terus bergerak, berteriak, berkerumun dan tak peduli akan bahaya Corona. Semua mereka lakukan demi kesejahteraan.
Melihat bernafsunya pemerintah dan DPR mengesahkan UU Omnibus Law membuat para buruh dan elemen masyarakat curiga. Ada permainan tersembunyi yang kepentingannya diperuntukkan bagi pengusaha. Seperti yang disampaikan Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus mengkritik keras Badan Legislatif (Baleg) DPR yang tergesa-gesa menyelesaikan RUU karena ada pesanan dari sejumlah pihak. (Republika, 5/10/2020)
Kenyataan ini semakin menyayat hati, saat wakil rakyat tak peduli dengan jeritan rakyat. Dalam senyap terus mengejar UU Cipta Kerja disahkan katanya demi kepentingan rakyat. Benarkah untuk rakyat? Kita dapat melihat secara keseluruhan, UU Cipta Kerja terdiri atas 11 klaster. Diantaranya Penyederhanaan Perizinan, Persyaratan Investasi, Ketenagakerjaan, Kemudahan Berusaha, Pemberdayaan, Perlindungan UMKM, Dukungan Riset dan Inovasi, Administrasi Pemerintahan, Pengenaan Sanksi, Pengadaan Lahan, Kemudahan Investasi dan Proyek Pemerintah, serta Kawasan Ekonomi Khusus.
RUU ini dinilai menghilangkan hak pekerja dan tentunya memberi angin segar bagi pelaku usaha. Sebut saja salah satu pasal kontroversi adalah yang berisi tentang Penghapusan Upah Minimum Kota/Kabupaten sebagai dasar upah minimum pekerja, pengurangan nilai pesangon, ketentuan cuti, dan sejumlah pasal lainnya yang mengabaikan hak pekerja khususnya.
Dengan disahkan UU ini, aspirasi rakyat tak ada artinya. Meskipun sebagian besar masyarakat menolak, tetap saja UU Ciptaker minim dibatalkan pemerintah. Pasalnya, UU tersebut lahir bukan demi rakyat tapi demi investor. Disahkannya sebagai bentuk kesepakatan antara penguasa, pengusaha dan oligarki kekuasaan. Rakyat hanya diposisikan sebagai tumbal keserakahan kapitalis. Jadi jelaslah semua ini bukan untuk kepentingan rakyat. Akan tetapi hanya untuk memenuhi kehendak kapitalis.
Sifat dasar kapitalis yang tamak nampak dalam bentuk kebijakan yang diterapkan karena prinsip dasar kapitalis hanya peduli pada untung rugi, bukan kesejahteraan publik. Jika menguntungkan, maka harus segera diwujudkan. Jika menuai kerugian, maka harus dihilangkan.
Dengan melihat fakta ini, semakin menyadarkan kita bahwa produk hukum dan segala bentuk kebijakan yang diterapkan saat ini, tak satu pun berpihak pada rakyat. Kaum buruh jauh dari sejahtera, semua tentu merupakan peranan kapitalisme yang memposisikan negara sebagai regulator. Akibatnya, kesejahteraan rakyat terabaikan. Masalah demi masalah para buruh dan rakyat kecil terus menumpuk, baik dari sisi prinsip kebebasan kepemilikan, kebebasan bekerja, biaya hidup rendah yang dijadikan tolok ukur dalam menetapkan gaji buruh, dll. Maka, permasalahan akan terus ada selama hubungan antara pengusaha dan pekerja dijalankan dalam sistem untung rugi menurut kapitalisme.
Dalam pandangan Islam, negara adalah khodim al ummah. Yakni pelayannya umat, mengurusi kepentingan dan kemaslahatan umat.Negara bertugas memberi jaminan dan pelayanan, menjamin penghidupan, kesejahteraan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyat.
Negara pun akan menjalankan kebijakan makro dengan menjalankan pokitik ekonomi Islam yang diterapkan khilafah. Tujuannya mengurusi kepentingan dan kemaslahatan umat, serta memberi jaminan dan pelayanan terbaik bagi seluruh rakyat.
Khilafah akan menciptakan lapangan pekerjaan, memberi akses kepemilikan lahan bagi individu yang mampu mengolahnya melakui ihyaul mawat (menghidupkan lahan mati), menciptakan iklim kondusif bagi wirausaha dan sebagainya.
Masyarakat yang berpendapatan menengah ke bawah, termasuk buruh yang kesulitan mengakses pendidikan, kesehatan, kebutuhan energi, dan transportasi. Maka negara akan menjamin terselenggaranya penanganan secara murah bahkan gratis. Karena semua itu merupakan tanggung jawab negara dan merupakan bagian dari tugasnya sebagai pemelihara dan pengatur rakyat.
Dengan dilaksanakan politik ekonomi Islam, permasalahan yang dihadapi ketenagakerjaan yang berkaitan dengan kesejahteraan buruh akan terselesaikan. Para buruh tak akan dirugikan, karena sepenuhnya tergantung pada akad ijarah (kontrak kerja) antara pengusaha dan pekerja. Antara pengusaha dan pekerja saling menguntungkan, tidak boleh satu pihak merugikan dan merasa dirugikan pihak lainnya.
Pengusaha diuntungkan melalui jasa pekerja dalam melaksanakan tugas yang dibutuhkan. Sebaliknya pekerja diuntungkan karena memperoleh penghasilan dari imbalan yang diberikan pengusaha. Jika terjadi perselisihan antara keduanya, maka negara dalam Islam menyediakan wadah yang terdiri dari tenaga ahli yang diharap dapat menyelesaikan perselisihan secara adil dan netral.
Dengan demikian, apabila syariat Islam ditegakkan dalam bingkai kepemimpinan Islam, tak perlu lagi ada persoalan UMK, tunjangan kesejahteraan, atau PHK sekehendak perusahaan terhadap buruh. Antara pengusaha dan buruh sama-sama diuntungkan, tanpa kebijakan zalim yang hanya menguntungkan kapitalis.
Dalam sistem pemerintahan Islam, regulasi dan undang-undang yang dibuat tidak akan menyalahi syariat. Tidak ada politik kepentingan, dan produk hukum yang dibuat tidak berdasarkan kepentingan manusia.
Hanya kepemimpinan Islam yang dapat mewujudkan kesejahteraan dan menghilangkan kezaliman pada buruh. Karena hukum Islam akan terealisasi dengan membawa keberkahan pada seluruh alam semesta.
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti akan Kamii limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (TQS Al-A’raf: 96)
Waalahu a’lam bi ash shawab
Oleh: Ine Wulansari
Pendidik Generasi