Perlu diketahui bahwa terdapat dua metode dalam penetapan awal bulan hijriah: rukyah dan hisab. Keduanya berpijak dari Hadits Rasulullah “shumu lirukyatihi wa aftiru lirukyatihi”.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, selain rukyat bil’ain (mata telanjang), juga dilakukan rukyat bil ilmi (rukyat melalui perhitungan ilmiah), yang kini lebih dikenal dengan ilmu hisab atau ilmu falak.
Dalam sistem rukyat bil’ain, atau lazim disebut rukyah saja, mengharuskan seseorang melihat hilal tanggal 29 bulan Qamariyah.
Jika hilal dapat dilihat ketika matahari terbenam (saat terjadinya ijtima’), maka malam itu dan keesokan harinya dinyatakan sebagai bulan baru. Jika tidak, disempurnakan (istikmal) menjadi 30 hari.
Sementara dalam hisab, di Indonesia ada dua aliran: haqiqi dan urfi.
Hisab urfi adalah sistem perhitungan kalender yang didasarkan pada peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan secara konvensional.
Sedangkan hisab haqiqi didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya, bahwa umur tiap bulan tidaklah konstan dan juga tidak beraturan, tergantung posisi hilal setiap awal bulan.
Sehingga boleh jadi dua bulan berturut-turut umurnya 29 hari atau 30 hari atau boleh jadi bergantian.