Ada apa dengan negeriku?
Tidak ada usai masalah menggeliat dengan kelam
Tiada pernah kering airmata karena harapan telah tenggelam
Suara gemuruh nestapa menghiasi negeri yang semakin suram
Bumi Pertiwi ditelanjangi teriakan para penghujum
Ada apa dengan negeriku?
Lihatlah tuan-tuan negeri bermusyawarah
Selalu membandingkan resah dengan amarah
Berebut kekuasaan hingga nurani menjadi patah
Bagaimana kami menilai yang benar dan yang salah
Sepenggal puisi karya Robi Sugara ini, sepertinya mewakili perasaan anak bangsa. Mereka merasa galau dengan kondisi negeri yang belum juga menunjukkan tanda-tanda menuju perbaikan. Rakyat hanya dapat menjerit, merasakan berbagai persoalan pelik yang telah lama menghantui negeri ini. Salah satunya adalah masalah ekonomi, yang banyak membuat masyarakat Indonesia frustrasi.
Pemerintah beralasan, bahwa terpuruknya ekonomi Indonesia disebabkan karena faktor pandemi. Padahal, ekonomi Indonesia sudah “matisuri” sebelum pandemi muncul di negeri ini. Alasan tersebut seolah memperkuat dugaan, bahwa pemerintah menjadikan pandemi sebagai kambing hitam, atas ketidakmampuan pemerintah dalam mengatasi segala macam persoalan di negeri ini.
Berbagai macam kebijakan yang telah diambil pemerintah untuk mengatasi permasalahan ekonomi ini, hingga kini belum membuahkan hasil. Ada apa dengan Indonesia?
Pandemi Covid-19 telah membuat dunia tidak berkutik, termasuk Indonesia. Bahkan kehidupan masyarakat kini menjadi semakin sulit. Pengangguran merajalela di mana-mana. Angka kemiskinan terus melambung tinggi, seiring dengan tingginya angka kriminalitas di negeri ini. Masyarakat butuh bantuan, bukan sekadar kebijakan-kebijakan.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh salah seorang Anggota Komisi B DPRD Kabupaten Bandung, Tri Bambang Pamungkas, bahwa masyarakat saat ini sangat membutuhkan bantuan. Pemerintah Daerah di wilayah Jawa Barat mengambil langkah untuk menjadikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Kerta Raharja sebagai salah satu sarana untuk membantu perekonomian rakyat yang terkena dampak pandemi.
Selama ini, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kerta Raharja yang merupakan Lembaga Keuangan Pemerintah Kabupaten, berfungsi sebagai penyalur bantuan modal dalam bentuk kredit pinjaman. Anggota dari Fraksi Nasdem ini mengatakan bahwa, BUMD Kabupaten Bandung tersebut belum terlalu dikenal oleh masyarakat umum. Hal tersebut disebabkan karena kurangnya sosialisasi dari pihak pemerintah kepada masyarakat. Kemungkinan kedua disebabkan karena adanya pemotongan penyertaan modal dalam setiap transaksinya. Atau karena bunga kreditnya terlalu besar, sehingga hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu saja, tambahnya. (www.dara.ci.id, Jum’at, 5/2/2021).
Ada atau tidak adanya pandemi, masyarakat miskin sudah semestinya mendapatkan bantuan dari pemerintah. Bentuk bantuan yang dimaksud adalah pemberian modal yang dilakukan secara cuma-cuma. Bukan berbentuk pinjaman (hutang), yang nantinya harus dikembalikan. Meskipun pinjaman tersebut tanpa bunga, tetap saja pinjaman modal yang dialokasikan kepada masyarakat tidak mampu itu, sangat memberatkan mereka.
Bantuan Sosial (Bansos) yang diperuntukkan bagi masyarakat yang terkena dampak pandemi, dinilai tidak efektif. Terlebih lagi apabila melihat jumlah nominal bantuan yang dibagikan, ternyata masih jauh dari kata mencukupi. Sehingga banyak masyarakat yang kemudian mengincar dana bantuan sosial yang berbentuk pinjaman (kredit).
Padahal, pinjaman (hutang) itu tidak ubahnya seperti lubang jebakan. Yang sewaktu-waktu dapat menjerat pelaku dalam kubangan hutang yang terus-menerus menyandera kehidupan mereka. Istilah gali lubang tutup lubang, akan disematkan kepada mereka, dan jelas akan membuat mereka lebih sengsara lagi kedepannya.
Terlebih lagi apabila hutang yang dimaksud adalah hutang ribawi. Yang mana dalam ajaran Islam, hutang riba termasuk perbuatan dosa besar, yang pelakunya diancam akan diperangi oleh Allah dan Rasul-Nya.
Pemerintah sebagai pelayan masyarakat, sudah seharusnya melakukan bimbingan dan kontroling, untuk menghindari terjadinya dana bantuan yang salah sasaran. Jangan sampai terjadi kasus seperti yang sering terjadi selama ini. Banyak bantuan yang melenceng arahnya dan justru jatuh kepada orang-orang yang tidak berhak menerimanya.
Dalam Sistem Pemerintahan Islam (Khilafah), cara yang ditempuh untuk mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran adalah dengan merealisasikan Politik Ekonomi Islam. Yakni, membuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya bagi warganya, dengan cara mengaktifkan sektor ekonomi riil. Menggalakan sektor pertanian, industri, perdagangan, dan lain-lain. Khilafah akan mengeluarkan kebijakan yang pro terhadap rakyat. Memberikan modal dan pelatihan keterampilan kepada masyarakat secara cuma-cuma, bagi yang membutuhkan.
Dananya diambil dari Baitul mal. Yaitu sebuah lembaga (institusi) khusus yang menangani harta yang diterima negara, dan kemudian dialokasikan bagi kaum muslim yang berhak menerimanya. Sumber dana berasal dari pos-pos keuangan negara, yakni dana yang bersumber dari harta fa’i dan kharaj, harta kepemilikan umum, dan harta dari shadaqah.
Selain itu, pemimpin negara Islam (khalifah), juga akan menerapkan kebijakan untuk mendatangkan investasi halal, serta menutup celah berkembangnya sektor non riil. Baik di bidang pertanian, perkebunan, pertambangan, kelautan, dan sebagainya. Sehingga akan tercipta iklim yang dapat merangsang terbukanya usaha-usaha baru, melalui birokrasi yang sederhana. Khilafah akan menerapkan sistem penghapusan pajak, serta akan melindungi industri dari persaingan yang tidak sehat.
Khalifah memiliki tanggungjawab yang besar, terhadap nasib rakyatnya.
Sebagaimana Sabda Rasulullah saw.,
“Imam (Khalifah) adalah pemelihara urusan rakyat. Ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya.” (H.R.Al-Bukhari dan Muslim).
Mekanisme dari ajaran Islam tersebut diatas apabila diterapkan oleh negara, akan mudah mengatasi problem pengangguran dan mengangkat kemiskinan. Sehingga masyarakat miskin tidak perlu repot-repot mencari pinjaman dana untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya.
Solusi ini bukan hanya di masa pandemi saja, namun untuk setiap zaman, sebagaimana yang telah diterapkan di masa kejayaan Islam.
Berbeda dengan sistem yang diterapkan saat ini, yakni sistem kapitalisme, sekularisme dan liberalisme. Yang mana sistem warisan penjajah Belanda ini lebih fokus pada pengembangan sektor ekonomi non riil. Yang menyebabkan turunnya produksi dan investasi di sektor riil. Yang berakibat dapat memicu terjadinya kebangkrutan perusahaan dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sehingga secara otomatis akan melahirkan pengangguran.
Sejatinya sistem kapitalisme dirancang bukan bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat kecil. Namun, tidak lain adalah untuk melancarkan hajat para cukong dalam mengeruk kekayaan alam di negeri ini. Sistem yang merupakan warisan penjajah Belanda ini, telah membuat kekayaan milik rakyat dikuasai dan dinikmati oleh segelintir orang saja. Di negeri ini telah terjadi privatisasi sektor publik, seperti jalan tol pertambangan gas, minyak bumi, mineral, dan lain sebagainya.
Dalam sistem demokrasi-kapitalis ini, masyarakat yang tidak mampu (miskin) seolah dibiarkan hidup mandiri. Sedangkan penguasa seakan berlepas tangan dan enggan menjamin kebutuhan hidup mereka.
Oleh karena itu, sudah selayaknya negeri ini menerapkan sistem pemerintahan Islam, yakni khilafah. Yang menitik beratkan pencapaian pada kemaslahatan umat (rakyat).
Sebab, ekonomi merupakan salah satu sumber penghidupan dan kelangsungan hidup suatu masyarakat. Pemulihan ekonomi masyarakat adalah suatu keharusan.
Wallahu a’lam bishshawab.
Oleh Sumiyah Ummi Hanifah
Member AMK dan Pemerhati Kebijakan Publik