“Agama dan moralitas adalah ranah privat. Karena itu, negara tidak boleh mengaturnya. Manusia bisa masuk atau tidak yang tahu hanya Allah, yang menilai Allah, bukan Bupati atau Satpol PP.” (Nong Darol Mahmada, Aktivis Perempuan).
Beberapa waktu yang lalu, sebuah video adu argumen orang tua siswa dengan Wakil Kepala Sekolah Negeri di Padang viral di media sosial. Orang tua dan pihak sekolah terlibat adu argumen perihal kewajiban siswi nonmuslim menggunakan kerudung di sekolah. Namun, pihak sekolah mengatakan bahwa tidak ada pemaksaan bagi siswi nonmuslim untuk mengenakan kerudung ke sekolah.
Pro dan kontra bermunculan atas kejadian ini. Mendikbud menganggap kejadian tersebut sebagai bentuk sebuah intoleransi, dan ia meminta agar pihak yang terlibat dalam kebijakan intoleransi tersebut diberikan sanksi, termasuk kemungkinan menerapkan pembebasan jabatan. Di sisi lain, 46 siswi nonmuslim lainnya tidak merasa keberatan untuk mengenakan kerudung, karena menurut mereka itu hanyalah bagian dari seragam sekolah dan tidak ada pengaruh pada keimanan mereka. (news.detik.com, 23/1/2021).
Pemerintah menganggap kasus yang terjadi di Padang tersebut telah menyalahi prinsip toleransi dan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Menurut Fauzi Bahar—mantan Walikota Padang, aturan kewajiban menggunakan kerudung ini karena pihak sekolah mengikuti Peraturan Daerah (Perda) yang bermuatan agama. Perda yang dimaksud merujuk pada Instruksi Walikota Padang No. 451.442/BINSOS-iii/2005 yang telah berjalan selama 15 tahun lebih. (antaranews.com, 26/1/2021).
Sementara Aktivis Perempuan, Nong Darol Mahmada mengungkapkan bahwa penerapan Perda berdasarkan agama sering diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok agama minoritas. Perda yang mengatur kesusilaan misalnya, kerap megasumsikan perempuan keluar malam sebagai pekerja seks. Akibatnya, stigma dan label negatif dibebankan kepada perempuan.
Selain Nong Darol Mahmada, kritik terhadap Perda Syariat juga disampaikan oleh Wasekjen PNI Marhaenisme, Ibnu Prakosa, yang menilai Perda Syariat akan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Menurutnya, kehidupan masyarakat akan terganggu karena aturan yang dijalankan tidak sesuai dengan paradigma nasional. (voaindonesia.com, 26/11/2018).
Kasus kewajiban penggunaan kerudung di Padang yang lahir dari keputusan Walikota setempat adalah bentuk desakan untuk membatalkan berbagai peraturan yang bersandar pada aturan agama (Perda Syariat). Menganggap Perda Syariat sering memicu ketidakadilan, diskriminasi dan intoleransi. Tentu saja standar yang digunakan untuk menilai ketidakadilan, diskriminasi dan intoleransi yang dimaksud ini adalah standar demokrasi, sebuah sistem yang lahir dari produk akal manusia, bukan dari Sang Pencipta.
Kita ambil contoh bagaimana Islam mengatur pakaian seorang muslimah, sehingga mewajibkan seorang muslimah untuk memakai pakaian syar’i, yaitu dengan kerudung dan jilbab. Bila melihatnya dari kacamata demokrasi, tentu saja ini melanggar salah satu aspek kebebasannya, yaitu kebebasan berperilaku. Seorang wanita menjadi tidak bisa mengekspresikan dirinya sesuka hati karena ada aturan yang dinilai mengekang dirinya. Inilah diskriminasi yang dimaksud menurut demokrasi.
Padahal syariat Islam diterapkan bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada perempuan untuk melindungi dirinya dari peluang terjadinya kejahatan. Aturan cara berpakaian seorang perempuan diatur untuk menghalangi apa saja yang bisa mendorong dan memicu terjadinya kejahatan tersebut. Maka, Islam mengatur seorang perempuan untuk menutup auratnya secara sempurna.
Bandingkan dengan demokrasi yang selalu memberikan kebebasan dalam berperilaku. Membiarkan perempuan mengumbar auratnya dan berpakaian serba terbuka. Para perempuan berlomba tebar pesona untuk menunjukkan kecantikannya di depan lelaki. Bahkan tubuh perempuan di sistem ini bisa dipandang bebas dengan menjadikannya sebagai barang komersil yang dapat menghasilkan uang. Jadi, jangan heran bila banyak terjadi kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual akibat ulah manusia yang tidak mau terikat dengan hukum syara’ dalam sistem ini.
Begitu pula dengan standar adil dan tidak adil menurut akal sistem demokrasi ini. Demokrasi menganggap aturan syariat menjadikan perempuan terjajah, perannya dibatasi, sehingga melahirkan gerakan feminisme, yaitu gerakan yang menginginkan adanya kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam segala hal. Tentu saja ini tidak mungkin, karena Allah menciptakan perempuan dan laki-laki jelas berbeda.
Perbedaan yang dimaksud adalah secara fitrah, misalnya perempuan memiliki rahim dan bisa mengandung, sedangkan laki-laki tidak. Perempuan memiliki periode menstruasi bulanan, sedangkan laki-laki tidak. Namun, perbedaan fitrah ini tidak membuat Allah membedakan keduanya, tetapi Allah memberikan aturan-aturan pada keduanya agar tidak ada yang melawan fitrahnya masing-masing. Hanya Allah yang paling tahu aturan terbaik untuk mengatur perempuan dan laki-laki karena keduanya diciptakan oleh Allah. Justru malah akan sangat berbahaya bila manusia menentang aturannya, misalnya seorang perempuan yang ingin memiliki karir yang tinggi sehingga meninggalkan perannya sebagai seorang istri dan ibu dalam sebuah keluarga.
Selain itu, sistem demokrasi yang rusak ini juga mengatakan bahwa masalah-masalah intoleran yang terjadi diklaim lahir dari diberlakukannya Perda Syariat. Contohnya pada kasus seragam hijab yang terjadi di Padang yang menganggap intoleran dengan siswa nonmuslim, sehingga pemerintah pun gerak cepat menangani kasus ini dengan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang melarang Pemda maupun sekolah membuat aturan untuk mewajibkan murid mengenakan seragam beratribut agama.
Lalu apa kabar dengan kasus pelarangan mengenakan kerudung yang dilakukan oleh sebagian besar sekolah di seluruh kabupaten dan kota di Bali? Apakah ini tidak termasuk bentuk intoleransi dan pelanggaran hak asasi pada siswi muslim? Inilah ketidakjelasan standar intoleran versi demokrasi karena sudah rusak sejak lahir, sehingga aturan-aturan yang dihasilkan menjadi tidak jelas dan saling bertentangan.
Akidah sekuler yang lahir dari demokrasi akan selalu membuang agama dalam kehidupan dan melahirkan pola sikap yang liberal. Pantas saja bila Aktivis Perempuan dalam sistem ini pun menganggap agama dan moralitas adalah ranah privat, sehingga negara tidak boleh mengaturnya. Aturan agama tidak boleh ada yang bertentangan dengan hukum nasional katanya.
Demokrasi juga menjadikan kebebasan bertingkah laku menjadi salah satu prinsip yang menjadikan masyarakat tidak peduli apakah melanggar syariat atau tidak. Sistem ini memberikan kebebasan seorang muslimah untuk berekspresi dengan pakaian yang ia kenakan, dan menjadikan syariat sebagai pilihan. Tidak boleh ada paksaan dalam berpakaian, padahal berhijab adalah suatu kewajiban bagi seorang muslimah. Namun dalam sistem ini, atas nama kebebasan dan HAM, kewajiban berubah menjadi mubah.
Ini semua adalah bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sistem demokrasi tidak akan pernah memberi ruang untuk menerapkan syariat Islam sebagai aturan publik. Karena dalam demokrasi standar penentu sebuah peraturan didasarkan pada hukum nasional yang selalu mengedepankan keberagaman. Bila mengenakan kerudung dan jilbab adalah sebuah kewajiban seorang muslimah dalam Islam, maka akan menjadi aturan yang dianggap intoleransi bagi penganut agama lain.
Beginilah demokrasi, syariat dianggap melawan hukum. Padahal menerapkan nilai-nilai dan ajaran Islam secara kafah adalah sebuah kewajiban, bukan hanya sebatas mewajibkan menggunakan kerudung dan jilbab saja. Namun, seluruh perkara yang berkaitan dengan kehidupan manusia, mulai dari bangun tidur hingga bangun negara, dan masuk WC hingga masuk surga semuanya diatur dalam Islam.
Allah memerintahkan pada manusia untuk berhukum hanya dengan hukum Islam, tanpa pilih-pilih. Apalagi dengan mencampuradukkannya dengan hukum-hukum batil buatan manusia. Manusia diperintahkan menerapkan hukum-hukum Allah tujuannya untuk menjalankan perintah dan menjauhi larangannya, bukan karena dorongan materi atau pencitraan politik untuk mendapatkan kekuasaan.
Islam ditegakkan untuk mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan umat tanpa mendiskreditkan penganut agama lain. Menyatukan suku, budaya dan agama yang beragam di bawah naungan satu kepemimpinan politik yang taat kepada Allah Swt. Dengan demikian, Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin dapat dirasakan. Sebagaimana janji Allah dalam Al-Qur’an, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. Al-A’raf: 96).
Wallahu’alam Bisshowwab