PANDEMI telah berlangsung di negeri ini hampir setahun lamanya. Puluhan ribu kasus terjangkit hingga berujung terenggutnya nyawa sudah menjadi berita sehari-hari. Beragam program penanganan dan penyelesaian telah dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Nyatanya optimalisasi penanganan belum juga terasa mampu mencerabut akar permasalahan dan mengeluarkan dari musibah pandemi.
Saat ini di daerah-daerah tengah digalakkan program inovasi dengan tujuan menekan angka Covid-19. Di Jawa Barat khususnya diluncurkan satu program unggulan yakni Puspa (Puskesmas Terpadu dan Juara). Berupa penguatan peran Puskesmas di 12 kabupaten dan kota. Sebanyak 100 Puskesmas akan diberi support masing-masing tambahan tiga personel terdidik di bidang kesehatan dan dua staf di setiap Puskesmas untuk memperkuat pelaksanaan 3T (Tracing, Testing, Treatment). (merdeka.com, 27/1/2021)
Program ini merupakan pengejawantahan amanah dari WHO. Pemda Jabar sendiri menggandeng CISDI (Center for Indonesia’s Development Initiarives) -LSM yang berkomitmen dalam program percepatan SDGs melalui pembangunan kesehatan. Program ini diyakini akan mengurangi beban RS dalam proses menekan angka Covid-19 dan menyukseskan vaksinasi. (jawa pos.com, 27/1/2021)
Menilik hal itu, tentu sekecil apapun upaya penanggulangan wabah wajib kiranya kita apresiasi. Mulai dari upaya tiap individu masyarakat hingga penguasa. Namun demikian, tentu wajib pula bagi kita untuk memiliki satu tujuan utuh bahwa pandemi mesti diselesaikan hingga ke akar. Agar dampak-dampak buruk yang menyertainya bisa dihentikan segera.
Waktu setahun semestinya menjadikan negeri ini telah terdidik untuk mengetahui akar permasalahan pandemi dan upaya yang mesti dilakukan. Ada demikian banyak ahli di bidangnya yang dapat dimintakan masukan terkait hal ini.
Banyak ahli menyebut bahwa penyelesaian pandemi ini bukan semata upaya di hilir saja. Berupa ajakan untuk senantiasa berdisiplin dengan 3M, 3T, dan terbaru penyuksesan program vaksin. Namun semestinya urusan hulu berupa terlaksananya secara menyeluruh pemutusan kontak antara orang yang terinfeksi dengan mereka yang sehat adalah perkara yang juga mesti dijadikan langkah pelaksanaan.
Sementara sedari awal negeri ini disapa wabah, upaya pemisahan antara yang sehat dan yang sakit tampak dilakukan secara minimalis, yakni melalui PSBB. Belumlah kasus tuntas, tersebab kekhawatiran akan aspek ekonomi makro, penguasa negeri telah berani menggantinya dengan strategi New Normal. Dimana hal ini justru menyesatkan pandangan masyarakat yang mengira pandemi telah berakhir.
Nyatalah, ledakan kasus positif hingga angka kematian terjadi kian dahsyat. Angka nakes yang wafat semakin banyak, ranjang-ranjang untuk perawatan kasus Covid-19 kian sesak hingga tak mampu tertangani di RS. Bahkan minimnya fasilitas kesehatan untuk penyembuhan pasien makin menambah daftar panjang permasalahan. Yang ditimbulkan karena upaya minimalis dan abainya penguasa menilai dan menyelesaikan kasus ini.
Pemerintah pun akhirnya menerapkan kembali program pembatasan aktivitas masyarakat dengan meluncurkan PPKM (Pelaksanaan Pembatasan Kegiatan Masyarakat). Bahkan sekarang sudah masuk ke jilid 2. Namun dapat kita lihat di tataran fakta, tak sedikit individu masyarakat yang abai dengan hal tersebut. Jangan salahkan masyarakat, inkonsistensi kebijakan pemerintah yang diterapkan telah dipahami sebagai teladan untuk diikuti. Bukankah perkara aneh ketika area pendidikan (sekolah, pesantren dan universitas) juga kegiatan keagamaan belum juga diberikan kesempatan membuka proses kegiatannya secara normal. Sementara mall, bioskop bahkan tempat-tempat wisata justru dibuka dengan alasan mendongkrak perekonomian. Seolah Covid-19 hanya berkeliaran di satu wilayah kerumunan sementara di tempat kerumunan lainnya tak ada. Aneh.
Adapun Program Puspa di Jabar tak ada bedanya dengan program lain yang diberlakukan pusat. Tentu memunculkan tanya, mengapa program tersebut hanya diperuntukkan bagi 100 Puskesmas yang ada di 12 kota dan kabupaten yang ada di Jabar. Bagaimana dengan Puskesmas lainnya yang tersebar di seluruh wilayah Jabar? Bukankah wabah sudah merata di hampir seluruh wilayah?
Apalagi jika dikaitkan dengan kenyataan bahwa pembatasan aktivitas di tengah masyarakat tidak diberlakukan secara konsisten dan menyeluruh di semua tempat. Ditambah tingkat kedisiplinan individu masyarakat tampak sangat minim dikarenakan minimnya pemahaman akan penyelesaian wabah. Juga karena tuntutan kebutuhan hidup rakyat dimana tidak ada satu pihak pun yang bertanggung jawab kecuali diri mereka masing-masing.
Dan sederet tanya lainnya terkait upaya-upaya minimalis yang diberlakukan oleh para penguasa baik pusat maupun daerah dalam keseriusannya menangani pandemi hingga ke akarnya. Maka tak heran jika muncul di benak sebagian kalangan bahwa Program Puspa pun diberlakukan sebagai upaya minimalis dalam memberantas wabah yang ada di Jabar. Dengan menjadikan target sekadar menekan angka Covid-19 di Jabar bukannya memberantas Covid-19 hingga ke akar.
Itulah paradigma khas kapitalisme dimana arahan materi lebih diutamakan dibanding keselamatan jiwa dan kesehatan rakyat. Maka ketika pandemi melanda pun serangkaian kebijakannya tak pernah keluar dari pakem kapitalis yang materi oriented. Di saat memberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat juga penerapan program penguatan dan bantuan, cenderung memilah lokasi dan individu. Karena keengganan dalam mensupport secara penuh kebutuhan asasi rakyat.
Prinsip sekuler telah menjadikan para penguasa merasa cukup dengan melakukan upaya-upaya minimalis dalam mengurus rakyat. Mereka tak merasa berdosa ketika minimnya upaya untuk menanggulangi wabah akan berakibat fatal bagi kehidupan orang-orang yang ada di bawah tanggung jawabnya.
Sangat berbeda dengan paradigma Islam dalam memandang perkara wabah.
Islam memandang bahwa musibah berupa wabah adalah ujian sebagai bentuk qadha dari-Nya yang wajib disikapi dengan penuh kesabaran dan taslim (berserah diri pada-Nya). Doa seraya menambah ketaatan akan aturan-Nya tak henti dilakukan sebagai upaya mendekat dan berharap ujian segera berlalu.
Namun demikian ikhtiar maksimal untuk segera keluar dari wabah adalah ranah wajib bagi manusia sebagai makhluk. Dengan potensi akal yang telah dititipkan Allah untuk dipergunakan bagi sebesar-besar upaya memikirkan uslub (teknik) dan washilah (sarana) yang dapat mempercepat terselesaikannya wabah.
Penyelesaian wabah dilakukan terintegral oleh penguasa pusat (khalifah) beserta jajaran yang ada di bawahnya. Mulai dari gubernur (wali) hingga pemimpin setingkat bupati (amil). Jalur komando pun diberlakukan satu suara mengikuti arahan pusat berasaskan syariat Islam semata.
Syariat mewasiatkan bahwa ketika wabah melanda wajiblah penguasa untuk memisahkan individu-individu rakyat yang sakit dari mereka yang sehat. Wilayah yang terkena wabah diisolasi. Untuk selanjutnya bagi yang sakit diberikan pengobatan hingga sembuh secara gratis. Tak lupa seluruh kebutuhan asasinya dipenuhi. Hal ini akan meningkatkan imunitas dalam diri individu yang sakit sehingga menjadikan upaya pengobatan lebih mudah.
Untuk wilayah yang tidak terdampak wabah, atas mereka tetap diberi keleluasaan untuk melaksanakan kegiatan seperti biasa. Urusan pendidikan, sosial, ekonomi, kemasyarakatan tetap dilakukan secara normal. Maka denyut kehidupan dan ekonomi negara masih tetap berlangsung.
Hal di atas dilakukan dengan penuh kesungguhan karena kuatnya keimanan para pemimpin Islam. Mereka meyakini bahwa pengaturan semua urusan rakyat adalah tanggung jawabnya yang kelak akan ditanya di mahkamah akhirat.
Pertanyaannya, maukah para penguasa dan masyarakat secara umum menerima kasih sayang-Nya dengan menerapkan syariat Islam secara menyeluruh? Agar permasalahan pandemi mampu segera tersolusikan secara tuntas hingga ke akar.
Oleh : Yuliyati Sambas, S.Pt
Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK