Ketentuan Akad Nikah di Luar Jam dan Hari Kerja Dihapus, Aturan Baru Kemenag Picu Polemik

POJOKBANDUNG.COM, JAKARTA – Aturan baru tempat akad nikah Kementerian Agama (Kemenag) memicu polemik. Pasalnya klausul dapat dilakukan di luar jam dan hari kerja dihapus oleh Kemenag.

Ketentuan Akad Nikah di Luar Jam dan Hari Kerja Dihapus, Aturan Baru Kemenag Picu Polemik

Logo Kemenag. Foto: Dok.man2kebumen.sch.id. Sementara itu foto atas, Ilustrasi pernikahan. Ketentuan Akad Nikah di Luar Jam dan Hari Kerja Dihapus, Aturan Baru Kemenag Picu Polemik. Foto: Dok.Ainur Ochiem/RDR.BJN.

Buntut klausul baru Kemenag tersebut, sehingga di media sosial (medsos) ramai yang menyebut, akad nikah hanya bisa dilakukan saat hari dan jam kerja.

Baca Juga :Kemenag Fokus Tekan Kasus Kekerasan di Pesantren

Aturan mengenai pencatatan akad nikah sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) 20/2019.

Di ayat 2 pasal 16 PMA itu tertulis dengan jelas, bahwa akad nikah dapat dilalukan di luar KUA Kecamatan serta di luar hari dan jam kerja.

Sehingga selama ini banyak pasangan nikah yang melakukan akad di Sabtu, Minggu, atau hari libur.

Baca Juga :Kemenag Gelar Sidang Isbat Awal Zulhijah 1445 H pada 7 Juni 2024

Dalam perkembangannya Kemenag mengeluarkan aturan baru yaitu PMA 22/2024 yang diundangkan pada 7 Oktober lalu. Bunyi ayat 2 pasal 16 di PMA itu intinya akad nikah dapat dilakukan di luar KUA Kecamatan.

Tidak ada keterangan dapat dilakukan di luar jam dan hari kerja.

Pasal inilah yang memicu polemik di masyarakat.

Baca Juga : Kemenag Tambah Kuota Haji 20 Ribu, Lansia Tetap Prioritas

Guru besar Ilmu Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ahmad Tholabi Kharlie mengatakan rumusan Pasal 16 ayat (1) dan (2) di PMA 22/2024 itu memang bermasalah. Sehingga menimbulkan tafsir yang beragam di tengah publik.

Ada sejumlah kontradiksi antar norma yang menimbulkan kerancuan dalam menafsirkan. “Antara ayat 1 dan 2 saja tidak sinkron dan kontadiksi dengan sejumlah aturan lainnya yang terkait.

Tholabi mengatakan, paling tidak ada dua langkah yang harus dilakukan Kemenag menyikapinya. Pertama melakukan revisi terhadap norma pasal tersebut.

Terutama Pasal 16 ayat 1 dan 2. Menurut dia diperlukan penyempurnaan rumusan norma, termasuk harmonisasi dengan berbagai norma dalam regulasi lainnya.

“Langkah ini tentu tidak sederhana. Karena melalui tahapan-tahapan yang cukup panjang,” jelasnya.

Upaya kedua yang bisa dilakukan Kemenag adalah membuat tafsir terhadap aturan tersebut. Serta menjelaskannya kepada publik tentang maksud dari pembuat aturan itu. Dia menjelaskan waktu tiga bulan sebelum PMA itu berlaku efektif, dapat digunakan untuk mendengarkan masukan dari publik. Sekaligus menyosialisasikan kepada masyarakat agar dapat dipahami dengan sebaik-baiknya.

“Kontrovesi muncul karena secara tekstual Pasal 16 mengatur pelaksanaan pencatatan peristiwa perkawinan dilakukan di hari kerja dan di KUA, meski pada ayat 2 dimungkinkan di luar KUA,” katanya. Lantas publik memahami bahwa pada hari Sabtu, Ahad, dan libur nasional, KUA tidak memberikan layanan. Menurut dia, pemahaman itu yang menimbulkan kegelisahan di tengah-tengah masyarakat.

Dia menjelaskan Kemenag sudah klarifikasi lewat siaran pers. Isinya bahwa layanan pencatatan perkawinan tidak hanya di hari kerja dan di KUA. Tetapi bisa di luar kantor dan di lar hari kerja. Namun tetap norma hukum harus disempurnakan.

Selain itu Tholabi mengatakan, para penghulu juga perlu berhati-hati dalam menyampaikan suatu aturan baru ke publik. Serta memastikan bahwa substansi yang disampaikan sudah sesuai dengan maksud dan tujuan dari pemberlakuan norma yang beelaku.

“Hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan kegaduhan di ruang publik,” jelasnya.

Informasi viral di masyarakat, muncul dari penghulu yang memberikan penjelasan PMA 22/2024 kepada pasangan pengantin yang dia nikahkan. Kepada pasangan pengantin, si penghulu mengatakan aturan baru itu efektif diterapkan mulai 1 Januari 2025.

Dia menyampaikan pengantin yang akad nikah di Sabtu, Minggi, atau hari libur nasional, pihak KUA Kecamatan tidak bisa mengeluarkan buku nikah. Maka buku nikah dikeluarkan lewat jalur isbat nikah atau Pengadilan Agama.

Sementara itu Juru Bicara Kemenag Anna Hasbie menegaskan tidak ada kebijakan yang melarang pelaksanaan pernikahan di luar KUA, baik pada hari kerja maupun di hari libur. “Kami ingin meluruskan bahwa aturan tersebut tidak membatasi pasangan untuk melangsungkan pernikahan di luar KUA pada hari kerja ataupun di hari libur,” jelas Anna.

Anna menjelaskan, pelaksanaan pernikahan di KUA pada dasarnya hanya dapat dilaksanakan pada hari dan jam kerja. Sebab KUA beroperasi dari Senin hingga Jumat. Di luar hari-hari tersebut, imbuhnya, KUA tidak melayani pernikahan di kantor.

Anna juga mengatakan bahwa PMA tersebut baru akan mulai berlaku tiga bulan setelah ditetapkan. Penerapan PMA itu membutuhkan waktu penyesuaian. Maka dalam tiga bulan ke depan, Kemenag akan terus mendengarkan masukan dari berbagai pihak.

Dia menuturkan Kemenag berkomitmen untuk terus memberi pelayanan pencatatan pernikahan yang memudahkan masyarakat. “Semoga bisa meredakan kekhawatiran masyarakat yang berencana menikah di luar KUA Kecamatan. Kemenag berkomitmen untuk terus memberi layanan terbaik dalam proses pencatatan pernikahan,” jelasnya. Ke depan Kemenag akan melakukan sosialisasi lebih lanjut terkait PMA 22/2024, agar tidak ada lagi kesalahpahaman di masyarakat. (wan/jawa pos)

loading...

Feeds