Keluarga Korban TPPO Harap Pemerintah Segera Pulangkan Para Korban dari Myanmar

POJOKBANDUNG.com, BANDUNG – Hampir satu tahun sudah, Yuli Ismi (40) menunggu kepulangan suaminya Robin (42) untuk kembali ke tanah air setelah ia tahu suaminya menjadi salah satu korban praktik perdagangan orang lintas negara. Dia mengaku suaminya dulu ditawari kerja oleh kawannya sebagai admin dengan gaji sekitar Rp. 16 – 20 juta di Negara Thailand.


“Dijanjiinnya kerja di Thailand jadi admin gitu, tapi setelah berangkat ternyata suami malah dijadikan pekerja paksa di Myanmar,” kata Yuli, saat dihubungi Minggu (30/6).

Awalnya dia sudah merasa curiga mengenai tawaran kerja tersebut lantaran dinilainya tak masuk akal. Namun ia akhirnya sepakat saat suaminya memutuskan berangkat mengingat keinginan mereka untuk memperbaiki nasib ekonominya.

“Suami itu statusnya buruh harian lepas, jadi saat itu memang sedang enggak kerja makanya tertarik sama tawaran temannya itu,” ujarnya.

Awalnya suaminya diarahkan oleh kenalannya itu dengan seorang pencari kerja. Dari sana suaminya diarahkan untuk wawancara kemudian dinyatakan diterima untuk bekerja. Kendati begitu, ia mengaku ongkos untuk pergi bekerja tersebut dibebankan kepada keluarganya.

“Total untuk berangkat itu kita harus bayar Rp. 5 juta untuk tiket pesawat pp tapi akhirnya yang pulangnya enggak kepakai. Waktu itu sama penyalurnya dijanjikan akan diganti, tapi sampai sekarang enggak ada,” jelasnya.

“Pas pertama berangkat itu ke Thailand pas sampai dia sempat ngabarin kalau betul seminggu pertama itu di Thailand, tapi setelahnya itu dia dipindah ke Myanmar dan mulai dipekerjakan sebagai penipu online itu,” sambungnya.

Ia meneruskan, dalam pekerjaannya di Myanmar, suaminya dipaksa untuk menipu orang lain secara online. “Dia sampai sekarang sudah pindah perusahaan dua kali yang pertama itu suami cerita disuruh nipu orang Eropa lewat telpon,” katanya.

“Nah yang diperusahaan kedua itu sasarannya ganti jadi orang-orang Asia, termasuk Indonesia. Dia bekerja tidak dibayar, dan jam kerjanya panjang hampir 24 jam,” terusnya.

Bahkan suaminya pun sempat mendapat perlakuan tak manusiawi dari bosnya di sana. Ia menyebut bahwa suaminya kerap dihukum pukul dan lari keliling lapangan perusahaan dengan membawa beban. “Yang paling parah dari cerita suami itu ada kawan se perusahaannya yang disetrum di depan dia,” ujarnya.

Saat ini, dia tergabung dalam Solidaritas Keluarga Korban Jerat Kerja Paksa bersama delapan keluarga korban lainnya. Salah satu upaya yang saat ini dilakukan oleh keluarga korban tersebut ialah melaporkan kejadian yang dialaminya ke BP2MI (Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia) dan Disnakertrans.

“Sejak suami mengabari kalau dia dijual ke perusahaan lain itu Februari kalau tidak salah, keluarga mulai bergerak dengan mengadukan soal ini ke pemerintah setempat, tapi belum dapat respon. Di Jabar itu korban ada empat orang, satu suami saya (Indramayu), satu Bandung, satu Padalarang, dan satu lagi dari Pondok Gede Bekasi. Yang disana juga sudah sempat lapor ke KBRI Yangon, tapi belum ada respon,” sebutnya.

Kendati telah melaporkan kejadian tersebut ke pihak yang berwenang, ia mengaku hingga kini belum ada tindak lanjut mengenai kasus tersebut. “Untuk itu kita kemarin sudah minta bantuan juga ke LBH Bandung dan mereka sepakat untuk memberikan advokasi hukum buat keluarga korban,” jelasnya.

Untuk itu ia pun mengharap kepada Pemerintah RI agar bisa segera membebaskan suaminya beserta korban lain yang kini terkatung-katung nasibnya. Ia mengatakan ia pun akan segera melaporkan kejadian tersebut ke Polda Jawa Barat dengan harapan suaminya bisa segera pulang kembali ke rumah.

“Kemarin salah satu keluarga korban sudah ada yang lapor ke Polda, tapi saya belum, ini baru akan kami laporkan dengan korban lain yang belum lapor,” pungkasnya. (rup)

 

Loading...

loading...

Feeds