POJOKBANDUNG.com- DEWAN Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bandung Barat (DPRD) KBB dengan Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Bandung Barat, tengah membahas Raperda tentang Kabupaten Layak Anak (DP2KBP2A).
“Sebenarnya ini sudah melakukan kajian akademis sejak 2019 lalu. Tapi karena ada beberapa kendala, jadi sempat terhambat. Sehingga, baru bisa dibahas sekarang,” ujar Ketua Pansus Raperda Kabupaten Layak Anak, Nur Djulaeha.
Nur mengatakan, Perda ini dibuat dengan maksud membuat payung hukum terkait kegiatan dan program menuju Kota Layak Anak di semua dinas, yang sebenarnya sekarang sudah ada. Nur mengatakan, sebenarnya urusan anak ini bukan hanya tanggungjawab DP2KBP2A, melainkan beberapa dinas juga terkait di dalamnya.
“Sebut saja Dinkes yang harus menyiapkan fasilitas puskesmas layak anak. Selain itu, terkait juga dengan Dinas Pendidikan, yang harus menyiapkan sekolah layak nak,” terangnya.
Untuk sekolah layak anak, tambahnya salah satu indikatornya adalah kelayakan kamar mandi. Di mana seharusnya, ada kamar mandi di setiap kelas. Belum lagi seharusnya kamar mandi laki-laki dan perempuan dipisahkan.
“Tapi kondisinya sekarang memang tidak begitu,” katanya.
Belum lagi di Dinas PUPR harus menyiapkan trotoar layak anak. Yang juga harus diperhatikan hak anak terkait administrasi kependudukan seperti KIA dan akta kelahiran. Meskipun Nur mengatakan sudah ada kesadaran masyarakat atas pentingnya dokumen tersebut, namun masih belum maksimal. Terutama untuk masyarakat di pedalaman yang masih belum paham apa kegunaan administrasi anak-anak.
Intinya, perda ini mendorong penganggaran dinas terkait untuk menganggarkan program penunjang menuju kabupaten layak anak.
“Program yang ada sekarang sudah cukup baik, namun harus disempurnakan. Dengan adanya perda ini, menjadi payung hukum Ketika dinas terkait akan membuat program penunjang, dan melakukan penganggaran,” terangnya.
Hal yang juga diatur di sini adalah, harus ada pendampingan terhadap anak, ketika seorang anak tersandung masalah hukum. Baik itu posisinya sebagai pelau maupun korban. “Dalam hal ini, anak harus mendapat pendampingan hingga kasusnya selesai,” tuturnya.
Anak juga berhak mendapat perlindungan dari kekerasan yang dilakukan bahkan dari orang-orang terdekat, seperti misalnya, ayah, kakak, dan paman. Nur mengatakan, masih banyak anak yang mendapatkan kekerasan, naik itu kekerasan fisik, verbal, dan seksual.
Tidak sedikit juga anak yang dieksploitasi terutama untuk anak-anak yang menjadi tulang punggung keluarga.
“Masih ada anak-anak yang disuruh berjualan, bahkan harus berkeliling membawa barang dagangan, sehingga ada yang harus menanggung barang dagangannya seharian. Itu kita lihat contohnya anak-anak yang menjual ulekan,” tuturnya.
Menurut Nur, dalam Raperda ini, tidak banyak membahas mengenai sanksi ketika terjadi pelanggaran. Nur mencontohkan jika terjadi pernikahan di usia muda. Meski hal ini dilarang, namun sudah masuk ranah privat, sehingga tidak bisa dijatuhkan sanksi tegas.
“Yang masuk kategori anak adalah dari masa di dalam kandungan sampai seseorang mencapai usia 18 tahun. Sayangnya masih ada pernikahan di bawah usia itu, terutama di daerah pedalaman, namun kita tidak bisa menindak hal itu. Terlebih jika itu merupakan hal yang disetujui orang tuanya,” terangnya.
Nur menjelaskan, berdasarkan undang-undang, usia wanita yang boleh menikah adalah 21 tahun dan laki-laki 25 tahun. Dalam usia tersebut, seseorang dinilai sudah mampu dan cukup dewasa untuk menikah.
“Untuk Wanita, usia tersebut dianggap alat reproduksinya sudah cukup matang dan sehat untuk mengandung,” tegasnya.
Tujuan besar dari dibuatnya perda ini adalah, untuk mewujudkan komitmen Bersama antara pemerintah daerah dengan orang tua, keluarga, masyarakat, organisasi masyarakat dan dunia usaha dalam upaya mewujudkan pembangunan yang peduli terhadap hak, kebutuhan dan kepentingan terbaik baik anak.
“Sehingga, anak tumbuh menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab,” tuturnya.
Selain itu juga diharapkan bisa mengintegrasikan potensi sumber daya manusia, keuangan, sarana, prasarana, metode dan teknologi, yang ada pada pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, organisasi masyarakat, dan dunia usaha dalam memenuhi hak-hak anak.