Minimnya Partisipasi Pemilih pada Pilkada Serentak 2024 Jadi Bahan Revisi UU Pemilu

POJOKBANDUNG.COM, JAKARTA – Penurunan partisipasi pemilih di Pilkada Serentak 2024 didorong amblesnya partisipasi di provinsi-provinsi besar.

Minimnya Partisipasi Pemilih pada Pilkada Serentak 2024 Jadi Bahan Revisi UU Pemilu


Petugas berkostum superhero membantu warga saat Pilkada Serentak 27 November 2024 di tempat pemungutan suara (TPS) 12 Pasir Kaliki, Kota Cimahi, Rabu (27/11/2024). FOTO-FOTO: TAOFIK ACHMAD HIDAYAT/POJOK BANDUNG

Bahkan, penurunan pemilih pada Pilkada Serentak 2024 mencapai 20 persen dibandingkan dengan pemilu Februari lalu.

Penurunan pemilih pada Pilkada Serentak 2024 itu dipotret dari catatan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR).

Baca Juga :Pj Walikota Bandung A Koswara Tinjau Pelaksanaan Pilkada Serentak 2024: Alhamdulillah Kondusif

Di Jakarta, misalnya, partisipasi pilkada hanya 58 persen.

Turun 21 persen dibandingkan dengan pemilu yang menyentuh 79 persen.

Di Jawa Barat, capaian partisipasi pemilu sebesar 81,7 persen.

Baca Juga :Seluruh Badan Ad Hoc Pilkada di Sumedang Terlindungi Jaminan Sosial Ketenagakerjaan

Kini melorot tinggal 61,7 persen.

Wakil Ketua Komisi II DPR Dede Yusuf mengatakan, rendahnya minat pemilih mungkin disebabkan faktor ketokohan paslon yang tidak sesuai harapan publik sehingga tidak menarik partisipasi.

”Kalau MU lawan Chelsea, itu biasanya penontonnya banyak,” selorohnya di kantor KPU, Jakarta, Senin (2/12/2024).

Baca Juga :Skala Institute dan Ragaplasma Rilis Hasil Survei Pilkada 2024 di 6 Wilayah Jabar

Dia mengatakan, dari sisi sosialisasi, dia menilai sudah maksimal. Mayoritas masyarakat sudah mengetahui adanya pilkada. Karena itu, pengalaman ini harus menjadi bahan evaluasi bagi partai. ”Untuk benar-benar mencari calon yang memang menjadi jagonya masyarakat,” imbuhnya.

Faktor lainnya, menurut Dede, adalah waktu yang berdempetan dengan pilpres sehingga memicu kelelahan psikis pemilih terhadap politik.

”Mungkin bisa kita lakukan ke depan perubahan dengan beda tahun, misalnya,” jelasnya.

Dibahas dalam revisi UU Pemilu

Faktor tersebut, lanjut dia, akan menjadi isu yang dibahas dalam revisi UU Pemilu.

Namun, untuk detailnya, pihaknya masih akan melakukan exercise dan kajian.

Koordinator Nasional JPPR Rendy Umboh mengatakan, banyak faktor yang memengaruhi minimnya partisipasi pemilih.

Rendahnya minat pemilih dipengaruhi calon yang tak diharapkan

Faktor pertama adalah rendahnya minat masyarakat yang dipengaruhi sosok calon yang tidak diharapkan.

Imbasnya, mereka tidak tertarik untuk datang ke TPS dan memilih abstain.

”Barangkali disebabkan animo pemilih itu sendiri yang memang enggan menunaikan hak untuk memilih,” ujarnya.

Situasi itu harus menjadi bahan evaluasi di tataran partai politik.

Figur terbaik

Dengan begitu, ke depan, figur terbaik dengan elektabilitas yang paling tinggilah yang semestinya dicalonkan sebagai calon kepala daerah.

Kemudian, dari sisi penyelenggara, Umboh mendesak agar cara sosialisasi dievaluasi. Sejauh ini, pihaknya melihat sosialisasi yang dilakukan sebatas formalitas.

”Tidak menyentuh sisi-sisi substansial tujuan dan maksud sosialisasi tersebut. Jangan-jangan, banyak juga sosialisasi yang diselewengkan atau tidak dilaksanakan dengan benar,” imbuhnya.

Situasi nyata

Apa yang terpotret di pilkada, lanjut dia, bisa jadi merupakan situasi nyata.

Sementara itu, tingginya partisipasi pemilu Februari lalu justru didorong money politics.

”Karena para caleg dan timnya sangat masif dan kencang melakukan politik uang,” ungkapnya.

Sementara pada pilkada, money politics relatif lebih berat akibat cakupan wilayah yang luas.

Khususnya di pilgub yang harus menjangkau satu provinsi. (far/c19/oni/jawa pos)

 

 

loading...

Feeds