Diseminasi Kolaboratif HIMATEK-ITB dan PASPI Ulas Kelapa Sawit Indonesia Sebagai Minyak Nabati Nomor Satu Dunia

POJOKBANDUNG.com, BANDUNG – Palm Oil Agribusines Strategic Polict Institute (PASPI) dan Badan pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) baru saja mengunjungi Himpunan Mahasiswa Teknik Kimia (HIMATEK) ITB, Fakultas Teknologi Industri untuk melakukan seminar bedan dan diseminasi buku, Mitos Vs Fakta: Inndustri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial edisi keempat yang dilaksanakan di Auditorium SBM ITB, Sabtu (30/5).

Acara ini bertujuan membedah fakta mengenai kelapa sawit dan potensinya sebagai minyak nabati terbaik di dunia melalui berbagai sudut pandang ahli dengan mengundang tiga dosen ITB dari program studi berbeda, yaitu Teknik Kimia, Ilmu dan Teknologi Hayati, dan Farmasi ITB.

“Melalui seminar ini, harapannya adalah pemahaman mengenai kelapa sawit bisa dipahami dan dikembangkan oleh rekan-rekan mahasiswa yang memegang peran penting dalam pengembangan kelapa sawit,” jelas Dr. Ir. Tungkot Sipayung, Direktur Eksekutif PASPI.

Prof. Ir. Sanggono Adisasmito mewakili kaprodi Teknik Kimia ITB mengatakan bahwa buku Mitos Vs Fakta ini mengungkap sejarah apa adanya mengenai kelapa sawit, detil melalui kurva dan data.

“Biarlah angka yang berbicara,” lanjutnya.

Anwar Sadat, Staf Senior Divisi UKMK BPDPKS mengatakan bahwa kelapa sawit menyumbang 24% minyak nabati dunia, dan Indonesia memproduksi 60% jumlah kebutuhan sawit dunia.

“Indonesia ini memang produsen minyak sawit terbesar dunia dan merupakan raja minyak nabati,” lanjutnya.

Berdasarkan data tahun 2023, jumlah penerimaan APBN dari kelapa sawit menyumbang 3,5% APBN total, spesifiknya sebanyak 88 T rupiah. Nilai ini lebih besar dibanding APBD Jabar, bahkan DKI Jakarta.

Dikatakan bahwa 42% dari Perkebunan sawit dimiliki oleh petani swadaya. Fakta ini menunjukkan bahwa sawit adalah usaha kerakyatan yang meningkatkan ekonomi rakyat, bukan konglomerasi.

Anwar Sadat meneruskan bahwa terdapat tantangan yang menghadang perkembangan industri sawit, yaitu persepsi dan stigma negatif yang diberikan negara di luar mengenai kelapa sawit.

Melalui upaya PASPI yang tidak hentinya dalam memberikan fakta mengenai kelapa sawit, stigma negatif menurun sehingga masyarakat mulai paham produk yang biasa mereka gunakan merupakan produk turunan kelapa sawit.

Kunjungan PASPI ke ITB menjadi kesan menyenangkan bagi Direktur Eksekutif PASPI, Tungkot Sipayung karena alumni Teknik Kimia ITB yang selalu memberikan warna baru kepada industri kelapa sawit Indonesia.

“Pemakaian sawit ini memang sangat luas, dan ini merupakan dosa anak-anak Teknik kimia yang menyebabkan begitu banyak produk dihasilkan dari sawit,” jelasnya.

Beliau mengatakan bahwa sawit terklasifikasi sebagai komoditas yang dapat menguasai Masyarakat, negara, bahkan negara karena mengontrol pangan, energi, dan ekonomi.
Memberi pandangan dari sudut hilirisasi, Dr. Ir. Rasendra mengatakan bahwa industry sawit membuat kita seperti CLBK atau cinta lama bersemi kembali.

Limbang TKS sawit sangat bisa digunakan sebagai biomassa untuk bahan bakar, sama seperti orang zaman dahulu menggunakan kayu sebagai bahan bakar.

Produk biodiesel merupakan biofuel yang dapat diproduksi dari sawit.

“Untuk saat ini memang lebih mahal, tapi saya optimis pengembangan bisa dilakukan,” tegas Rasendra.

Dari sudut pandang ilmu farmasi, Prof. Dr. Elfahmi mengatakan bahwa sawit bisa menjadi pendukung bahan baku farmasi yang sangat penting.

“20 tahun lalu professor saya bilang kalua bahan baku farmasi hamper 100% berasal dari luar, dan saat ini narasinya tidak berubah banyak sepertinya,” ujarnya.

Ada potensi produksi vitamin A dan E yang berasal dari kelapa sawit yang saat ini banyak dikerjakan oleh rekan-rekan farmasi. Bahkan, industri farmasi akan sangat diuntungkan dengan hilirisasi yang tepat.

Pentingnya kelapa sawit bagi industry masa depan tentunya memerlukan ekspansi dan intensifikasi. Dr. Elham dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB mengatakan bahwa penting untuk memerhatikan dampak jangka panjang ekspansi sawit.

“Deforestasi akibat ekspansi sawit akan menyebabkan dampapk buruh untuk lahan,” ujarnya.

Dr. Elham mengatakan bahwa dukungan penuh perlu dimiliki industry sawit, tetapi sebisa mungkin ekspansi harus ditekan dan fokus terhadap intensifikasi.

“Jika memang harus ekspansi, lahan gabut harus dihilangkan dari opsi dan fokus ke lahan terbengkalai,” tegasnya.

Menutup sesi seminar, Dr. Ir. Tungkot Sipayung bersyukur atas seluruh masukan dan pendapat yang tentunya akan dipelajari.

“Harapannya kita bisa bekerja sama dan menjadikan sawit sebagai senjata utama kita, karena inilah yang kita punya,” pungkasnya.(*)

 

loading...

Feeds