POJOKBANDUNG.COM, JAKARTA – Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah meminta banyak negara untuk memperlakukan rokok elektrik dengan varian rasa atau vape seperti rokok konvensional.
Hal ini lantaran dampaknya sama. Kemarin (9/1) Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) membeberkan penelitian terkait rokok elektrik tersebut.
Prevalensi pengguna rokok elektronik meningkat pesat. Pada 2011 hanya 0,3 persen dan pada 2018 ada 10,9 persen prevalensi perokok elektronik.
Lalu pada sistem kesehatan nasional (Siskenas) 2016 prevalensi perokok elektrektik remaja (usia 10-18 tahun) sejumlah 1,2 persen. Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2018 menunjukan prevalensi perokok elektrik remaja mencapai 10,9 persen.
“Kita menempati urutan pertama konsumen rokok elektrik di dunia berdasarkan penelitian Statista Consumer Insight yang dilakukan Januari sampai Maret 2023,” ungkap ketua PDPI dr Agus Dwi Susanto SpP(K) kemarin.
Di RSUP Persahabatan telah melakukan penelitian alasan orang beralih ke rokok elektrik.
Baca juga : Pemkot Bandung Pastikan Peserta BPJS dan UHC Tak Terpengaruh Penyesuaian Tarif Puskesmas
Dari 937 responden, 719 orang diantaranya menyebut alasan peralihan ke rokok elektronik ini kadar nikotin lebih rendah dan sebagai terapi berhenti merokok. Alasan lainnya adalah berkaitan dengan rasa, bisa atraksi asap, dan mengikuti tren.
“Pendukung elektronik akan bilang lebih baik karena tidak mengandung tar tapi sama-sama mengandung nikotin,” kata Agus.
Dia menyebut 90 persen rokok elektronik mengandung nikotin.
Selain itu mengandung bahan yang bisa penyebab karsinogen.
Selain itu mengandung partikel halus yang merangsang iritasi dan menginduksi peradangan.
Agus menyebutkan rokok elektronik maupun rokok konvensional sama berbahaya.
Dia juga menegaskan bahwa rokok elektronik dapat menimbulkan ketergantungan.
Ini berdasarkan survei langsung yang dilakukannya bersama tim di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ada 71 responden yang isinya 34 laki-laki pengguna rokok elektronik dan sisanya tidak menggunakan rokok elektronik. “76 persen ditemukan adiksi,” katanya.
Ada berbagai penyakit yang bisa muncul akibat rokok elektronik. Agus menyebutkan risiko perokok eletronik maupun orang sekitar yang menghirup asapnya bisa menderita iritasi saluran napas hingga kanker paru. “Paru bocor banyak sekali laporannya. Di Indonesia, apsien saya usia 23 tahun. Selama 10 tahun rokok konvensional dan 1 tahun terakhir rokok elektronik,” ceritanya.
Pasien itu mengalami paru-paru bocor yang menyebabkan parunya terdapat cairan yang akhirnya harus dipasang selang untuk mengeluarkan cairan. “Setelah itu diminta untuk tidak merokok lagi dan ternyata tidak kambuh,” imbuhnya. (lyn)