POJOKJABAR.com, MAJALAYA – Memburuknya kondisi ekonomi dalam negeri dalam dua tahun terakhir, membuat industri tekstil di Majalaya Kabupaten Bandung sekarat.
Direktur salah satu perusahaan tekstil di Majalaya, Satya Natapura mengatakan daya beli masyarakat Indonesia dalam dua tahun terakhir terus menurun, hal tersebut terlihat dari menurunnya penjualan sarung Majalaya dalam dua tahun terakhir. “Pasar itu sudah dua tahun terakhir luar biasa lesu, pas lebaran kemarin saja, produk kami nyaris tak terjual,”tutur Satya, Kamis (15/10/2015).
Penurunan penjualan kata dia sampai 70 persen dari kondisi normal. Dalam keadaan normal, perusahaan yang dipimpinnya bisa menjual barang berupa sarung majalaya sampai 200 ribu per bulannya, namun saat ini penjualan tiap bulannya hanya 50 ribu saja.
Keadaan tersebut diperparah oleh melemhnya nilai tukar rupiah, pasalnya bahanbaku untukproduksi tekstil seperti benang, obat celup merupakan hasil dari Import, sehingga biaya produksinya menggunakan dolar.
“Bahan baku import, tapi hasil produksinya dijual di lokal, jadinya harga jual barang tersebut tidak bisa menutup total ongkos produksi yang dikeluarkan. Ketika dolar naik, biaya produksi naik, tapi pasar melemah, daya beli lesu,” lanjut dia.
Akibatnya, banyak perusahaan yang merumahkan para pekerjanya, termasuk di pabrik milik satya yang sudah merumahkan 40 persen karyawannya dari semua bagian sampai manajer.
Satya pun mengaku belum mengetahui kapan perusahaannya akan kembali mempekerjakan karyawannya yang dirumahkan itu. Ia akan menunggu kondisi perekonomian nasional bangkit kembali. Barulah, ratusan pekerja tersebut bisa dipekerjakan kembali. “Belum bisa diprediksi kapannya, menunggu ekonomi membaik saja,” ujar dia.
Perusahaannya lebih memilih merumahkan pekerjanya karena biaya yang harus dikeluarkan jauh lebih kecil ketimbang memberhentikan pegawainya. Kalau memberhentikan, kata dia, perlu biaya yang lebih besar lagi karena harus menyediakan uang pesangon. “Dana PHK itu lebih besar ketimbang memberikan uang untuk menunggu,” kata dia.
Apalagi, dalam keadaan seperti sekarang ini, industri yang paling pertama terkena dampak yakni yang bergerak di padat karya. Namun, ada perbedaan antara krisis di tahun ini dengan krisis yang terjadi pada 1998 lalu.
Menurut Satya, pada 1998, meski terjadi krisis, ekspor barang tekstil masih bisa dilakukan bahkan terus digenjot karena menguntungkan. “Kita malah untung, karena barang kita dijual dengan dolar,” kata dia.
Saat itu, pesanan banyak berdatangan dari Kota Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Satya mengakui, saat itu minyak menjadi sumber kekayaan bagi negara tersebut lantaran harga jual minyak pun masih tinggi, lebih dari 80 dolar per barel. Namun, sekarang, harga jual minyak turun drastis, sampai di bawah 50 dolar per barel.
Dalam kondisi normal, kata dia, kontribusi industri tekstil pada nilai ekspor itu bisa mencapai 10 miliar dolar dalam setahun. Namun, dua tahun terakhir, nilai ekspor pada industri tersebut, tidak lebih dari 6 miliar dolar per tahun.
Namun, bukan berarti peluang untuk mengekspor dari industri tekstil itu tidak ada. Sebab, bahan-bahan seperti levis itu masih bisa diekspor ke luar negeri. Untuk produk seperti sarung, diakui dia, memang sangat sulit untuk diekspor dalam waktu sekarang ini.
“Walaupun masih bisa (ekspor), tapi dampaknya ke sektor riil itu yang luar biasa sekali, karena banyak dari mereka yang nggak kuat menjual,” tutur dia.
Sementara itu, Ketua Gabungan Serikat Pekerja Merdeka Indonesia (Gaspermindo) Kabupaten Bandung, Mulyana Ariawinata menuturkan, sekitar 40 persen dari total 7.000 pekerja yang tergabung dalam Gaspermindo, kini telah dirumahkan. “Ini karena kalangan pengusaha di Kabupaten Bandung enggak kuat menanggu beban produksinya,” ujar dia.
(mld)