POJOKBANDUNG.com – Wacana penurunan potongan komisi aplikasi ojek online (ojol) dari 20 persen menjadi 10 persen kembali mencuat. Tuntutan ini datang dari sejumlah mitra pengemudi yang menilai bahwa beban potongan terlalu tinggi.
Namun, Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi mengingatkan bahwa setiap perubahan harus mempertimbangkan keberlangsungan seluruh ekosistem transportasi digital, termasuk pengemudi, perusahaan, konsumen, dan UMKM.
“Kalau hanya bicara bisa atau tidak, tentu bisa saja saya menandatangani aturan yang menurunkan potongan menjadi 10 persen. Tapi apakah itu bijak? Tidak, jika tidak mendengar suara semua pihak,” ujar Dudy dalam diskusi publik bersama perwakilan empat perusahaan transportasi online.
Dudy menyebutkan bahwa ekosistem transportasi daring sudah sangat kompleks dan menyentuh banyak aspek kehidupan, termasuk jutaan UMKM. Karena itu, perubahan kebijakan perlu dikaji secara menyeluruh. Ia menekankan perlunya keseimbangan agar seluruh pemangku kepentingan tetap mendapatkan manfaat yang adil.
Empat perusahaan aplikator , Grab Indonesia, Gojek (PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk.), Maxim Indonesia, dan InDrive, menyatakan bahwa komisi 20 persen yang dikenakan saat ini digunakan untuk mendukung operasional, pengembangan teknologi, hingga subsidi dan promosi yang pada akhirnya juga kembali ke pengemudi dan pelanggan.
Chief of Public Affairs Grab Indonesia, Tirza R. Munusamy, mengatakan bahwa Grab hanya mengenakan potongan 20 persen dari tarif dasar, sesuai dengan ketentuan pemerintah. “Kami ingin menegaskan bahwa komisi 20 persen hanya berlaku untuk tarif dasar perjalanan, bukan tarif keseluruhan,” ujar Tirza. Ia juga menjelaskan bahwa Grab memiliki dua sumber pendapatan, yakni dari komisi mitra pengemudi serta biaya aplikasi dari pengguna.
Sementara itu, Presiden Gojek Catherine Hindra Sutjahyo menjelaskan bahwa struktur komisi Gojek terdiri atas 15 persen untuk perusahaan dan 5 persen untuk biaya layanan. Ia menyebut, sebagian besar potongan digunakan untuk program diskon pelanggan.
“Kalau komisi diturunkan ke 10 persen, pendapatan mitra bisa terlihat naik dari sisi transaksi. Tapi yang kami khawatirkan adalah permintaan akan turun drastis karena harga layanan akan naik, akibat subsidi yang terpangkas,” kata Catherine. Ia juga menambahkan, “Pengemudi bisa saja mendapatkan nilai potongan lebih kecil, tapi jumlah pesanan berkurang. Dampaknya bisa lebih buruk secara keseluruhan.”
Keberadaan platform digital yang sehat juga penting untuk mendukung UMKM. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, terdapat lebih dari 65 juta pelaku UMKM yang kini banyak bergantung pada layanan pesan-antar digital. Penurunan potongan aplikasi berisiko mengurangi subsidi pengiriman, menaikkan harga layanan, dan akhirnya menurunkan permintaan dari konsumen. Ini akan berimbas pula pada omzet UMKM yang selama ini diuntungkan oleh penetrasi digital.
Tak hanya dari pemerintah dan perusahaan, pengamat ekonomi pun memberikan catatan. Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, menilai bahwa komisi sebaiknya tidak diatur secara kaku oleh pemerintah. Menurutnya, persaingan sehat antar-aplikator justru dapat mendorong penawaran komisi terbaik bagi mitra pengemudi.
“Komisi idealnya diserahkan kepada mekanisme pasar. Aplikator bukan lembaga sosial. Mereka juga perlu mengejar profit untuk bisa berinvestasi dan bertahan,” ujar Nailul. Ia juga menegaskan bahwa kepentingan pengemudi dan konsumen tetap harus diperhitungkan dalam kebijakan perusahaan.
Senada, ekonom Bright Institute Awalil Rizky mengungkapkan bahwa komisi seharusnya dilihat sebagai bentuk biaya sewa atas infrastruktur digital yang digunakan oleh mitra. “Platform punya biaya besar untuk pengembangan sistem, server, layanan pelanggan, dan teknologi. Di sisi lain, pengemudi menanggung beban operasional seperti BBM dan cicilan kendaraan,” jelas Awalil. Oleh karena itu, menurutnya, penting untuk mencari titik keseimbangan yang adil melalui regulasi yang mempertimbangkan posisi kedua belah pihak. (dbs)