Ancam Krisis Ekonomi Digital, Modantara Tolak Komisi 10 Persen

Pengemudi ojek online (ojol) menunggu penumpang di dekat Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta, Senin (5/5/2025). (Dok Jawa Pos)

Pengemudi ojek online (ojol) menunggu penumpang di dekat Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta, Senin (5/5/2025). (Dok Jawa Pos)

POJOKBANDUNG.com – Asosiasi industri layanan mobilitas dan pengantaran digital, Modantara, menyampaikan sikap kritis terhadap wacana penetapan komisi tunggal 10 persen dan rencana perubahan status mitra pengemudi menjadi pegawai tetap. Pernyataan ini muncul setelah adanya aksi penyampaian aspirasi oleh mitra pengemudi di Jakarta.

Direktur Eksekutif Modantara, Agung Yudha, menilai bahwa kebijakan terhadap sektor digital seharusnya mengacu pada kondisi ekonomi dan data yang valid, bukan sekadar dorongan politik. “Selama ini, sektor ini menjadi penopang saat krisis. Maka dari itu, kebijakan harus mempertimbangkan dampak jangka panjang secara menyeluruh,” ujarnya.

Modantara menolak adanya pemaksaan komisi seragam untuk semua platform digital. Menurut asosiasi ini, model bisnis, jenis layanan, serta teknologi yang digunakan tiap platform berbeda, sehingga kebijakan tunggal berisiko menurunkan kualitas layanan, menghambat inovasi, dan membebani pelaku usaha.

Penolakan juga disampaikan terkait wacana perubahan status mitra menjadi karyawan tetap. Berdasarkan proyeksi Modantara, kebijakan tersebut berpotensi menghilangkan lebih dari 1,4 juta pekerjaan dan menurunkan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia hingga 5,5 persen.

Analisis serupa disampaikan oleh Svara Institute (2023), yang menyebutkan bahwa perubahan status mitra dapat menghilangkan 70 hingga 90 persen lapangan kerja di sektor ini. Di negara seperti Inggris dan Spanyol, kebijakan serupa menyebabkan tarif naik hingga 30 persen.

“Jika niat melindungi justru berujung pada hilangnya akses kerja fleksibel bagi jutaan orang, maka perlu ditinjau ulang, siapa sebenarnya yang diuntungkan?” tambah Agung.

Meski mendukung peningkatan kesejahteraan mitra, Modantara menilai bahwa penyesuaian tarif harus dilakukan secara hati-hati dan berbasis data. Kenaikan tarif yang tidak proporsional dikhawatirkan akan menurunkan daya beli konsumen dan membuat layanan tidak tersedia di area non-komersial.

Modantara juga mendorong evaluasi terhadap regulasi yang menaungi layanan pengantaran digital berbasis aplikasi atau On-Demand Service (ODS). Saat ini, sektor tersebut masih diatur oleh UU Pos No. 38 Tahun 2009, yang dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan industri digital.

Terkait rencana pemberlakuan pendapatan minimum bagi mitra setara UMR, Modantara mengingatkan potensi risiko seperti pembatasan rekrutmen, kenaikan biaya layanan, dan pengurangan cakupan operasional platform digital di wilayah tertentu.

Sebagai alternatif, Modantara mendorong pemerintah mempertimbangkan pendekatan yang lebih adaptif, seperti pemberian akses pembiayaan ringan bagi mitra, insentif bebas parkir, pembebasan PPN, serta optimalisasi perlindungan sosial melalui BPJS.

Data Modantara menunjukkan, sektor ojek online, taksi daring, dan kurir digital saat ini menyumbang sekitar 2 persen terhadap PDB Indonesia. Jika mitra direklasifikasi menjadi karyawan, diperkirakan hanya 10–30 persen dari mereka yang dapat terserap, sementara mayoritas berisiko kehilangan pekerjaan. Kerugian ekonomi secara keseluruhan diperkirakan mencapai Rp178 triliun.

Dampak yang ditimbulkan termasuk terbatasnya akses masyarakat terhadap layanan pengantaran, serta potensi kerugian bagi pelaku UMKM yang selama ini sangat bergantung pada platform digital sebagai sarana distribusi dan penjualan utama.

Modantara menegaskan bahwa pendekatan kebijakan terhadap sektor digital harus mempertimbangkan keberlangsungan ekosistem, perlindungan mitra, dan dampaknya terhadap perekonomian nasional secara luas. (dbs)

loading...

Feeds

Merah Putih

Merah Putih

Oleh: Dahlan Iskan POJOKBANDUNG.ID, KOTA BANDUNG – Ini baik, hanya saja bikin terkejut dana Rp5 miliar untuk setiap koperasi desa …