POJOKBANDUNG.com, BANDUNG – Guna mewujudkan konsep sustaibility living yang kini tengah digandrungi masyarakat, De Braga by Artotel menjalin kerjasama dengan Morotai Home Indonesia (Mohoi) dalam sebuah pameran bertajuk “From Nature to Future Art Exhibition” yang digelar di Artotel Braga sejak 15 Maret hingga 31 Desember 2024 mendatang.
Kegiatan pameran ini sekaligus menjadi showcase untuk memperkenalkan produk – produk rilisan Mohoi yang fokus di bidang home living terutama lampu. Tak hanya itu kegiatan ini juga ditujukan untuk mewujudkan konsep Green Building yang kini digalakkan oleh De Braga by Artotel.
General Manager de Braga, Reza Farhan mengungkapkan ide kerjasama ini muncul untuk menjembatani profil kedua jenama ini dalam mewujudkan satu lingkungan hotel yang menerapkan konsep green build yang menjadi visi perusahaannya.
“Ide pameran ini muncul awalnya dari obrolan pertemanan, yang mana de Braga fokus untuk target green building dan Mohoi yang mengampanyekan kesadaran lingkungan hidup pada karya – karyanya,” kata Reza.
Dia menerangkan setelah melalui diskusi dengan pihak Mohoi, akhirnya terjadi kesepakatan bahwa pameran tersebut digelar sebagai salah satu upayanya untuk mengoptimalkan visi green building yang diterapkan oleh hotelnya.
“De Braga ini satu unit usaha yang sejak awal memang menerapkan konsep green building saat ini kita secara kriteria itu sudah sampai angka 88 persen dan Insya Allah di akhir 2024 ibi kita hanya tinggal perbaiki lagi beberapa sisi seperti ac agar bisa seratus persen,” ujarnya.
Dirinya pun berharap dengan adanya kerjasama ini ke depannya konsep tersebut bisa betul – betul terlaksana dan diterima oleh masyarakat. “Tentu saja kita lewat pameran ini sekaligus ingin mengedukasi masyarakat utamanya tamu kita soal kesadaran lingkungan hidupnya,” kata dia.
Sementara itu, Founder dan Designer Mohoi, Rosyadi Akhmad mengatakan lewat pameran ini pihaknya ingin mengampanyekan kesadaran industri yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
“Produk kita itu fokus di lampu yang menggunakan bahan dasar bambu atau rotan. Dalam prosesnya pun kita tidak hanya mengambil nilai seninya semata tapi juga kesadaran sains dari produk kita, sehingga produk kita biasanya lama rilis karena memang proses risetnya cukup memakan waktu,” kata Rosyad.
Dia menjelaskan pilihan penggunaan bambu dari produknya berawal dari ide seni yang tidak merusak lingkungan. Menurutnya penggunaan bambu pun memiliki tantangan tersendiri baginya sebagai seniman karena karakteritik bahan tersebut berbeda dari kayu pada umumnya.
“Ada istilah di lingkungan pengrajin bambu itu begini. Kalau tukang dan kayu itu, kayunya nurut ke tukang, tapi kalau bambu itu tukangnya harus nurut ke bambu, karena memang se tricky itu untuk mengoptimalkan bambu,” ujarnya.
“Untuk itu kita berangkatnya by riset dan kembali ke komunitas masyarakat, agar semua yang ada di ekosistem bisnis kita ini benar – benar bisa terlibat di karya kita,” pungkasnya. (rup)