POJOKBANDUNG.com- Mekanisme Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) menjadi salah satu fokus pembahasan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Jawa Barat pada tahun 2024 ini. Terlebih ada beberapa objek pajak baru yang harus disosialisasikan kepada masyarakat.
Kepala Bapenda Jabar, Dedi Taufik mengatakan ada PDRD yang merupakan turunan dari Undang-undang (UU( Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). UU HKPD menjadi salah satu prioritas yang terus dibahas agar saat implementasinya berjalan baik.
“Aturan ini terus dibahas dalam setiap rapat di Bapenda Jabar. Bagaimana menyosialisasikannya, hingga implementasi berjalan lancar. Sembari menunggu hasil judicial review yang diajukan pemerintah pusat ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai HKPD ini,” ucap Dedi Taufik.
“Tentu ada tantangan tersendiri, tapi intinya kami berharap penentuan tarif harus mempertimbangkan pemenuhan rasa keadilan masyarakat, khususnya bagi kelompok yang tidak mampu,” jelas dia.
Meski terdapat berbagai tantangan, Dedi memilih fokus bagaimana memanfaatkan atau menciptakan peluang baru agar kinerja pendapatan Jawa Barat tahun 2024 bisa tetap maksimal dengan penyesuaian volume APBD dan tetap mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
“Tantangan tentu ada, tapi kami fokus pada memaksimalkan potensi dan peluang baru agar kinerja pendapatan daerah di Jawa Barat bisa maksimal. Ada objek daerah baru yang diatur, itu yang akan dibahas juga,” imbuh Dedi.
Objek pajak daerah baru yang dimaksud, antara lain Pajak Alat Berat, Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB), Opsen Pajak Kendaraan Bermotor, Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.
“Pajak daerah baru mulai diberlakukan paling lambat 4 Januari 2025. Tentu penting diperhatikan penetapan target penerimaan PDRD secara lebih presisi dengan mempertimbangkan kebijakan ekonomi daerah dan potensi pajak,” pungkasnya.
Diketahui, PDRD merupakan turunan dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Sebelumnya, RUU HKPD telah disahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang (UU) pada Selasa (7/12) saat Rapat Paripurna DPR ke-10 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2021-2022.
Dari berbagai informasi yang dihimpun, keberadaan UU HKPD juga menyederhanakan sistem perpajakan, yang meliputi penyederhanaan jenis pajak, tarif pajak, dan cara pembayaran pajak. Selain itu, UU ini sebagai landasan reformasi desentralisasi fiskal yang diharapkan dapat memperkuat lima elemen manfaat bagi pemda dan masyarakat.
Yakni, menciptakan instrumen Transfer Ke Daerah (TKD) berbasis kinerja, perubahan kebijakan pajak daerah dan retribusi yang diarahkan untuk mendukung peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sekaligus menjaga akses masyarakat atas layanan dasar wajib serta kemudahan berusaha.
Kemudian, peningkatan kualitas belanja daerah yang dilakukan lewat simplifikasi dan sinkronisasi program prioritas daerah. UU HKPD mendorong pemda untuk menyusun belanja daerah yang didasarkan atas standar harga.
Lalu, pembiayaan utang daerah dilakukan untuk mendorong akselerasi penyediaan infrastruktur serta penyederhanaan mekanisme pembiayaan. Terkhir, sinergi fiskal untuk kesinambungan, antara lain dengan penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan daerah, kebijakan penetapan batas kumulatif defisit serta pembiayaan utang daerah.
Namun, aturan yang didorong oleh Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ini mulai menghangat terutama bagi para pelaku industri yang keberatan dengan kenaikan batas tarif pajak hiburan menjadi 40-75 persen.
Para pelaku usaha berencana akan melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) lewat judicial review. Pemerintah pusat, pemerintah daerah dan dunia usaha bisa menentukan arah kebijakan selanjutnya setelah MK mengeluarkan putusan. (dbs)