Jabar Jadi Daerah Tertinggi Kasus Talasemia

Ketua Yayasan Talasemia Indonesia Rusandi (kanan) dan Ketua STFI Dr. apt. Adang Firmansyah, M.Si. (kiri).

Ketua Yayasan Talasemia Indonesia Rusandi (kanan) dan Ketua STFI Dr. apt. Adang Firmansyah, M.Si. (kiri).

POJOKBANDUNG.com – Penderita talasimia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Saat ini, sudah ada 12 ribu kasus dan 40 persennya berada di Jawa Barat (Jabar).

Hal itu diungkapkan Ketua Yayasan Talasimia Indonesia (YTI), Ruswandi saat acara skrining talasemia yang digelar Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia (STFI) di Jalan Soekarno-Hatta, Kota Bandung Rabu (22/11/2023).

“Dari total jumlah 12.155, 40 persennya ada di Jabar. Jabar ini jadi daerah paling besar,” ujar Ruswandi.

Menurutnya, masih banyak masyarakat yang belum tahu tentang talasimia. Padahal, talasimia masuk dalam kategori penyakit dengan pembiayaan tertinggi yang dicover BPJS.

Melalui kegiatan skrining ini, kata dia, masyarakat dan akademisi diedukasi tentang talasimia agar lebih peduli dan mau melakukan pemeriksaan untuk menekan kasus tersebut.

“Masyarakat sampai hari ini masih banyak yang tidak mengetahui talasemia itu apa, ada yang berpikir penyakit ini menular, itu salah, ini murni faktor genetik, ini bisa dicegah, masalahnya kalau gak dicegah, semakin lama, semakin berat beban negara dan pemerintah, terutama BPJS,” katanya.

Salah satu pencegahan yang dapat dilakukan yakni dengan melakukan pemeriksaan sebelum menikah. Jika hasilnya ditemukan ada carrier atau pembawa sifat, disarankan untuk mencari pasangan yang normal.

“Kalau bertemu dengan pasangan pembawa sifat juga, akan lahir talasemia mayor, yaitu anemia yang harus menjalani tranpusi darah dan itu membutuhkan biaya mahal,” ucapnya.

Katua STFI Dr. apt Adang Firmansyah menambahkan, skrining ini dilakukan agar tidak terjadi ledakan kasus talasemia di Indonesia.

“Talasemia ini karena belum banyak yang terskrining, ini hidden, ini bisa jadi gunung es sebetulnya karena yang ketahuan baru sedikit. Bahkan, orang banyak yang tidak tahu, penderitaan hanya 12-20 ribu tapi habiskan BPJS Rp 600 miliar, satu orang bisa habiskan Rp 400 juta untuk transfusi darah,” ujar Adang.

Pihaknya pun mendorong seluruh warga Indonesia untuk melakukan skrining sejak dini sebagai upaya pencegahan.

“2016 itu cuman sekitar 6 ribu, sekarang 12-20 ribu. Dulu urutan kelima, sekarang keempat,” ucapnya.

Adang menyebut, kegiatan skrining yang digelar STFI diharapkan diadopsi oleh kampus lain, termasuk pemerintah. Sebab, proses skrining talasemia tidak sulit seperti yang bayangkan. (*)

loading...

Feeds

POJOKBANDUNG.com – Indosat Ooredoo Hutchison (Indosat atau IOH) mengumumkan kerja samanya dengan Universitas Pasundan (Unpas) melalui penandatangan Nota Kesepahaman (Memorandum …