POJOKBANDUNG.COM, JAKARTA – Sedianya, mantan Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Angin Prayitno Aji mendengarkan putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, kemarin (21/8). Namun, majelis hakim menunda agenda pembacaan vonis lantaran belum siap.
Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan, pembacaan vonis terhadap terdakwa kasus penerimaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) itu akhirnya diundur satu pekan atau sesuai ketetapan majelis hakim. ”Sidang ditunda, (karena, Red) hakim belum siap,” kata Ali, kemarin.
Untuk diketahui, sidang perkara TPPU dan gratifikasi Angin sudah berlangsung sejak Januari lalu. Kemudian pada 27 Juni lalu, Angin baru menjalani sidang tuntutan. Artinya, sidang tersebut sudah bergulir selama hampir tujuh bulan.
Dalam sidang tuntutan, jaksa penuntut umum (JPU) pada KPK meminta hakim untuk menghukum Angin dengan pidana sembilan tahun penjara dan dengan Rp 1 miliar. Jaksa juga menuntut hakim untuk menghukum Angin dengan pidana tambahan berupa membayar uang pengganti sebesar Rp 29,1 miliar.
Tuntutan membayar uang pengganti tersebut merujuk pada besaran gratifikasi yang diterima Angin dari enam perusahaan dan satu perorangan selama kurun waktu 2014-2019. Perusahaan pemberi gratifikasi itu diantaranya PT Gunung Madu, PT Jhonlin Baratama dan PT Bank Pan Indonesia (Bank Panin).
Di sisi lain, terkait dugaan TPPU berkedok investasi bodong Net89, pakar TPPU Yenti Garnasih memandang prihatin dengan kasus tersebut, karena antara pidana asal dan TPPU-nya tidak disejajarkan. ”Seharusnya, bisa bersamaan, agar timbul efek jera,” paparnya.
Namun begitu, Karo Wassidik Bareskrim Polri Brigjen Iwan Kurniawan menuturkan bahwa penanganan kasus Net89 diproses terlebih dahulu pidana asalnya untuk memudahkan, yang selanjutnya tetap melakukan penyitaan terhadap aset hasil kejahatannya. ”Kalau pidana asal diketahui, mudah sita aset,” jelasnya.
Untuk kasus NET89 yang pidana asalnya telah lengkap atau P21, namun TPPU-nya belum beriringan. Dia mengatakan bahwa kasus tersebut akan tetap proses untuk mendeteksi semua aset hasil kejahatan. ”Sedang proses dan semoga secepatnya didapatkan,” paparnya menjawab pertanyaan Jawa Pos kemarin.
Sementara itu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan akan memperkuat pengawasan dan penindakan terhadap kejahatan keuangan berbasis digital. Keterangan tersebut disampaikan Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen (PEPK) OJK Friderica Widyasari Dewi.
Dia menuturkan salah satunya adalah dengan mengubah keberadaan Satgas Waspada Investasi (SWI) yang selama ini beroperasi. Dewi mengatakan SWI akan diubah menjadi satgas pemberantasan kejahatan keuangan berbasis digital atau online. “Aturannya sudah ada di UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan,” katanya.
Perubahan tersebut dilakukan karena kejahatan keuangan berbasis digital atau online terus berkembang. Tidak hanya di bidang investasi saja. Tetapi juga di bidang lain, seperti judi online, pinjaman online, dan sejenisnya. Dia juga menekankan masyarakat supaya lebih meningkatkan literasi keuangannya. Supaya tidak mudah terjerumus dengan segala bentuk penipuan keuangan berbasis online.
Lebih spesifik Dewi menjelaskan soal keberadaan pinjol. Belakangan banyak yang terjerat kasus pinjol. Dia menegaskan bahwa dalam regulasinya, penyedia jasa pinjol dilarang menawarkan produknya hanya lewat SMS.
Dia lantas membagikan data entitas keuangan online yang karena bermasalah sejak 2017 sampai 3 Agustus 2023. Untuk tahun ini, paling banyak adalah pinjol ilegal dengan jumlah 1.018 entitas. Rekor penghentian pinjol ilegal terbanyak pada 2019 yaitu 1.493 entitas. (tyo/idr/wan)