ICW: Kinerja Penindakan Korupsi di KPK dan Polri Sangat Buruk

POJOKBANDUNG.com.- Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan nilai ‘E’ kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan institusi Polri dalam melakukan pemberantasan korupsi. Nilai E itu, dikategorikan sangat buruk oleh ICW dalam kinerja penindakan yang dilakukan oleh KPK dan Polri.


Sementara itu, Kejaksaan Agung (Kejagung) memeroleh nilai ‘C’ dalam kinerja penindakan pemberantasan korupsi. Prolehan nilai C ini dikategorikan cukup oleh ICW.

“Kinerja penindakan kasus korupsi oleh institusi penegak hukum hanya mencapai 20 persen dan berada pada peringkat E,” kata peneliti ICW, Wana Alamsyah dalam keterangannya, Senin (19/4).

Wana menjelaskan, dalam periode Januari-Desember 2020, KPK hanya mampu 13 persen menangani kinerja bidang penindakan korupsi, dari target 120 kasus. Hal tersebut menunjukkan bahwa kinerja KPK masuk dalam kategori E atau sangat buruk.

Dia menilai, sebagian besar penindakan kasus korupsi yang dilakukan oleh KPK merupakan hasil operasi tangkap tangan (OTT) tujuh kasus dan pengembangan sebanyak tujuh kasus. Sedangkan kasus yang baru disidik pada tahun 2020 hanya satu kasus.

“Lambatnya proses pengembangan kasus yang strategis untuk membongkar setiap aktor menjadi kurangnya kualitas penanganan kasus,” beber Wana.

Berdasarkan informasi dari situs web KPK terdapat sebanyak 149 kasus korupsi yang disidik, antara lain 115 kasus perkara sisa tahun 2019 dan 34 kasus lainnya disidik tahun 2020. Faktanya, ICW mencatat hanya 15 kasus yang disidik dengan tersangka sebanyak 75 orang.

“Kasus yang carry over diduga memiliki dua tujuan, kasus korupsi akan dilanjutkan hingga tahap persidangan atau kasus korupsi berpotensi di SP3,” cetus Wana.

Dia lantas mencontohkan, kasus yang di carry over dan di SP3 adalah kasus dugaan korupsi BLBI. Serta kebocoran surat perintah dalam beberapa kasus yang ditangani oleh KPK membuka ruang bagi pelaku untuk melarikan diri, menyembunyikan bukti, atau potensi intimidasi dan teror. “Kebocoran berpotensi terjadi pada tingkat KPK ataupun Dewan Pengawas,” sesal Wana.

Sementara itu, institusi Polri yang dinilai memiliki 483 kantor dengan target penanganan kasus korupsi sebanyak 1.539 kasus dengan anggaran sebesar Rp277 miliar, hanya mampu menangani 170 kasus. Persentase kinerja penindakan kasus korupsi oleh Kepolisian sekitar delapan persen atau masuk dalam kategori E, kategori sangat buruk.

“Bahkan tidak ditemukan adanya informasi mengenai penggunaan anggaran penyidikan kasus korupsi,” ucap Wana.

Kulitas penanganan perkara sebagian besar kasus yang ditangani oleh Kepolisian merupakan kasus baru sebanyak 151 kasus. Sementara pengembangan kasus sebanyak 14 kasus, dan OTT sebanyak 5 kasus.

“Aktor yang paling banyak disidik adalah orang yang memiliki jabatan pada tingkat pelaksana. Hal ini diperparah dengan tidak adanya upaya untuk membongkar kasus pada aktor yang paling strategis,” beber Wana.

Dia memandang, polisi kurang profesional karena diduga memiliki konflik kepentingan. Hal ini terlihat pada saat menangani kasus dugaan korupsi penghapusan red notice di Interpol. “Tidak jelasnya penanganan kasus korupsi terkait dengan penyelewengan dana Covid-19,” ungkap Wana.

Kemudian, Kejaksaan Agung memiliki kantor sebanyak 517 kantor dengan target penanganan kasus sebanyak 566 kasus. Anggaran yang dikelola sebesar Rp 75,3 miliar. “Kejaksaan sampai akhir tahun 2020 menangani sebanyak 259 kasus,” ucap Wana.

Dia menilai, persentase kinerja penindakan kasus korupsi oleh Kejaksaan sekitar 46 persen atau masuk
dalam kategori C, masuk pada kategori cukup. Sebagian besar kasus yang ditangani oleh Kejaksaan merupakan kasus baru sebanyak 222 kasus. Sementara pengembangan kasus sebanyak 34 kasus, dan OTT sebanyak 3 kasus.

Menurutnya, Korps Adhyaksa paling sering menangani kasus korupsi yang terjadi di BUMN, yakni sebanyak 16 kasus dari 22 kasus yang disidik oleh penegak hukum. Meski demikian, diduga terdapat sejumlah Kejaksaan yang tidak menangani kasus korupsi, karena itu Kejaksaan Agung perlu melakukan evaluasi terhadap setiap Kejaksaan yang terbukti tidak bekerja.

“Kejaksaan Agung pada kasus dugaan suap dan gratifikasi pengurusan fatwa Mahkamah Agung diduga tidak independen dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan,” tegas Wana menandaskan.

Tiga institusi penegak hukum yakni KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung belum juga merespons hasil penilaian ICW mengenai tren penindakan korupsi pada 2020 ini.

(jpg)

Loading...

loading...

Feeds

DPRD Setujui 2 Raperda Kota Bandung

POJOKBANDUNG.com, BANDUNG – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bandung resmi menyetujui dua Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pada Rapat Paripurna …