POJOKBANDUNG.com, BANDUNG – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat telah memutuskan soal tidak adanya kenaikan UMP (Upah Minimum Provinsi) tahun 2021.
Besaran UMP Jawa Barat 2021 sekitar Rp1,8 juta. Atas itu, kalangan buruh mengaku kecewa dan menuntut Gubernur Jawa Barat untuk tetap menaikan UMP minimal 8,51 persen.
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jawa Barat, Roy Jinto menegaskan, menolak penetapan tersebut.
Sebab, buruh membutuhkan kenaikan upah untuk hidup layak dan mempertahankan daya beli.
“Buruh sangat kecewa dengan surat edaran Menteri Ketenagakerjaan RI yang melarang gubernur menaikkan upah minimum tahun 2021,” ucap Roy dalam pernyataan tertulis kepada Pojokbandung.
“Dengan surat edaran itu banyak gubernur yang tidak menaikkan upah minimum tahun 2021, salah satunya Jabar,” timpalnya.
Ia menegaskan, atas keputusan itu, buruh akan melakukan aksi mogok kerja massal secara serentak di seluruh kabupaten dan kota Jawa Barat, serta melakukan aksi demonstrasi ke kantor Gubernur Jabar.
Pengaturan soal penentuan kenaikan upah, kata Roy, dalam UU No. 13/2003, PP No. 78/2015.
Menurutnya, kenaikan upah seharusnya berdasar survei pasar atas kebutuhan hidup layak (KHL), pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Sedangkan, Roy menilai, penetapan UMP Jawa Barat tahun 2021 hanya berlandaskan kondisi pandemi.
Roy membandingkan dengan daerah lain, seperti DKI Jakarta atau Provinsi Jawa Tengah yang tetap menaikkan upah minimum.
“UMP Jawa Barat cacat hukum karena hanya mempertimbangkan kondisi pandemi Covid-19,” kata Roy.
“Kenaikkan upah minimum sangat buruh nanti-nantikan untuk menjaga daya beli. Karena itu, buruh akan tetap menolak keputusan tersebut,” tegasnya.
Sebelumnya, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jabar, Rachmat Taufik Garsadi mengumumkan terkait UMP 2021 Jawa Barat dalam jumpa pers di Gedung Sate, Kota Bandung, Sabtu (31/10).
Sementara itu, Plt. Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial (PHI-Jamsos) Kemenaker Haiyani Rumondang menuturkan, 15 provinsi menetapkan UMP 2021 akan mengikuti SE Menaker.
Artinya, tidak ada kenaikan pada UMP 2021 nanti. “Kemudian, ada lima provinsi yang UMP-nya ada kenaikan,” ujar Haiyani.
Haiyani enggan merinci 20 provinsi tersebut. Menurutnya, yang berwenang penuh untuk mengumumkan ada gubernur masing-masing provinsi.
“Kami tidak mau mendahului. Karena takutnya, gubernurnya belum mengumumkan,” ungkapnya.
Dari pantauan Jawa Pos (induk Radar Bandung), lima provinsi yang telah menetapkan kenaikan UMP 2021 yakni Jawa Timur (Jatim), Jawa Tengah (Jateng), Jogjakarta, DKI Jakarta, dan Sulawesi Selatan (Sulsel).
UMP 2021 Jatim diputuskan Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa naik 5,65 persen, dari Rp 1.768.777,- di 2020 menjadi Rp 1.868.777,- pada tahun depan.
Sementara Jateng, naik 3,27 persen atau naik Rp 56.963,9 menjadi Rp 1.798.979 dari sebelumnya Rp 1.742.015 pada 2020.
Kemudian UMP 2021 di DI Jogjakarta naik 3,54 persen dari tahun 2020. Sehingga, UMP tahun depan menjadi Rp 1.765.000,-.
Untuk DKI Jakarta, kenaikan UMP mencapai 3,5 persen, dari sebelumnya Rp 4.267.349,- menjadi Rp 4.416.186.548,-.
Meski begitu, bagi perusahaan yang terdampak pandemi diperkenankan untuk menggunakan UMP 2020. Perusahaan bisa mengajukan ke Dinas Ketenagakerjaan dengan melengkapi sejumlah syarat.
Terakhir, Sulsel juga dikabarkan telah menetapkan UMP 2021-nya naik sebesar dua persen. Dengan demikian, pekerja bisa mendapat UMP debesar Rp 3.165.876,- tahun depan.
Meski ke-20 provinsi tersebut telah menetapkan SK UMP, hingga kini Kemenaker belum menerima laporannya secara resmi.
Menurut Haiyani, hal ini kemungkinan karena adanya libur panjang bertepatan dengan batas akhir penetapan UMP 2021.
Begitu pula dengan 12 provinsi lainnya. Ia meyakini, seluruh proses telah berjalan. Namun sedikit terhambat karena libur panjang.
Kemenaker masih akan terus menunggu hingga pekan depan. Termasuk, dua provinsi yang belum ada kabar hingga kini. “Kita maklumi. Mungkin juga ada yang masih berproses sidang dewan pengupahannya,” jelasnya.
Soal keberatan serikat pekerja/buruh (SP/SB) mengenai SE Menaker terkait UM, Haiyani meminta semua pihak paham. Bahwa, kondisi perekonomian memang sedang tak baik. Kemudian, siapa yang menjadi sasaran penetapan UMP ini.
“Ditujukan pada tenaga kerja bawah 12 bulan. Bukan yang sekarang misalnya sudah 3-4 tahun,” katanya.
Ia menegaskan, UM ini untuk mereka yang baru akan kerja. Sehingga, mereka tidak digaji tanpa standar minimum. UU
Kemudian, soal adanya perusahaan terdampak dan tidak terdampak tentu harus ada bukti. Apalagi ketika itu menuangkan dalam SE, tentu harus ada pembuktian.
Karenanya, kekuasaan penuh untuk menetapkan UMP ini, ia yakini, gubernur lebih tahu iklim perekonomian wilayahnya.
“Saya yakin, daerah yang menaikkan UMP-nya karens mereka tahu perusahaan daerahnya mampu,” tegasnya.
(muh/ysf/jpc)