POJOKBANDUNG.com, SETELAH bulan Januari menggelar pameran ‘Fabel Nusantara’, Komunitas 22 Ibu yang bergerak pada bidang seni lukis, kembali menggelar pameran. Kali ini, mengambil tema keseluruhan ‘Gutta Tamarind’, para peserta menampilkan karya-karya yang dilukis diatas kain khusus. Pameran ini berlangsung di Galeri Orbital Dago, 18 Februari-8 Maret 2020.
Gutta Tamarind adalah teknik pembatikan yang diciptakan oleh komunitas 22 Ibu. Ini adalah teknik menggunakan gutta tamarind atau tuang buah asam. Teknik ini merupakan sebuah eksplorasi dan eksperimen alternatif pengganti bahan dasar lilin yang digunakan oleh pembatik.
Sejak diperkenalkan setahun lalu, teknik gutta tamarind mulai familiar dikalangan pecinta seni. Ini juga sebagai upaya untuk melestarikan batik dan memperkenalkan alternatif lain selain lilin, sebagai bahan utama membatik. Diawal tahun 2019, Komunitas 22 Ibu pernah menggelar pameran dengan judul ‘The Myth Story of Nusantara with Gutta Tamarind Batik’.
Ketua Komunitas 22 Ibu, Nuning Yanti Damayanti mengatakan mereka berupaya terus memperkenalkan teknik gutta tamarind. Katanya, teknik ini akan menghasilkan gambar yang lebih jelas dan proses yang sederhana. “Teknik ini menjadi lebih sederhana akan tetapi justru juga tampak lebih modern hasilnya,” katanya pada catatan kuratorial di Galeri Orbital Dago Jalan Rancakendal Luhur, Selasa (03/03/2020).
Teknik gutta tamarind tidak menggunakan alat canting atau alat untuk menorehkan diperintang. Karena tidak menggunakan lilin, kain yang sudah diberi pewarna tidak perlu melalui proses plorod. Tepung biji asam atau tamarind diolah dan dicampur dengan bahan margarin atau lemak nabati dan air hangat. Campuran ini dilarutkan sampai menjadi gel pasta atau disebut gutta.
“Perintangnya yang biasanya memakai lilin atau wax, ini diganti dengan gel gutta. Gel gutta kemudian dituliskan pada permukaan kain, ini untuk proses pewarnaan batik,” tuturnya. Perintang adalah pembatas atau outline pada kain sebagai media batik yang fungsinya merintangi atau membatasi antar warna, bidang, dan memperjelas bentuk pada objek motif.
Katanya, teknik ini prosesnya lebih sederhana dibandingkan memakai lilin. Namun hasilnya terkesan modern dengan gambar yang jauh lebih jelas. “Teknik ini bisa dikatakan lebih modern karena ada perbedaan tahapan prosesnya dengan pembuatan batik tradisional yang menggunakan lilin atau wax panas dan cair sebagai bahan perintang warnanya,” jelasnya.
25 pameris menampilkan ragam karya diatas kain yang melintang. Kain-kain tampak ditempel disebagian area galeri, ada juga yang digantung. Nuning menyebut motif yang dipamerkan kali ini terbagi atas dua bagian, yakni legenda cerita rakyat dan fabel nusantara. Ini merujuk pada dua pameran sebelumnya yang pernah mereka gelar.
“Mereka masing-masing menafsirkan kedalam olahan rupa dan penerapan warna yang memikat. Mulai dari yang simbolik hingga yang realis, abstraksi, dan dekoratif. Ini semua menunjukkan eksplorasi subjek dengan semangat feminim,” imbuhnya.