LBH: Judicial Review Sudah Tepat, Hak Warga Negara
POJOKBANDUNG.com, BOGOR – Sejumlah pedagang Kota Bogor memprotes Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) Nomor 10 Tahun 2018. Perda tersebut dinilai merugikan pedagang, sehingga mereka melakukan gugatan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Agung pada 5 Desember 2019 lalu.
Perda KTR Kota Bogor Nomor 10 Tahun 2018 tentang perubahan atas Perda Nomor 12 Tahun 2009 tentang KTR menjadi salah satu regulasi yang bermasalah dan penerapannya menuai pro dan kontra. Protes atas pemberlakuan perda tersebut ditandai dengan gugatan uji materi ke Mahkamah Agung oleh sejumlah pedagang Kota Bogor pada 5 Desember 2019.
“Dalam membuat regulasi, tentulah yang tidak merugikan masyarakat, tidak tumpang tindih dan dibangun dengan pendekatan partisipasi. Langkah judicial review yang diambil pedagang adalah langkah tepat dan hak mereka sebagai warga negara,” kata pengamat hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Bandung, Willy Hanafi, Minggu (9/2/2020).
Langkah judicial review Perda KTR oleh sejumlah pedagang di Kota Bogor itu sebagai upaya menyuarakan keadilan dan dampak ekonomi atas usaha mereka. Salah satu poin krusial yang perlu diuji materi adalah larangan pemajangan produk rokok. Ini tercantum dalam Pasal 6 Ayat 2 Perda KTR Nomor 10 Tahun 2018.
Willy memaparkan larangan dan pembatasan yang dimuat dalam Perda KTR Kota Bogor tersebut menggambarkan kewajiban yang harus dipenuhi, baik oleh pedagang maupun konsumen. Di lain sisi, kewajiban juga harus diimbangi dengan realisasi tanggung jawab oleh Pemerintah Kota Bogor.
“Misalnya, ada kawasan tanpa rokok, dan juga harus ada jelas dibuat Kawasan atau fasilitas-fasilitas yang memperbolehkan. Asas keberimbangan. Gugatan yang dilayangkan [judicial review] harus dijadikan refleksi bagi pembuat regulasi,” tegas Willy.
Dia menuturkan argumentasi dari Pemkot Bogor yang sebelumnya menyebutkan bahwa pendapatan asli daerah (PAD) tetap naik selaras dengan penerapan Perda KTR, dirasa kurang relevan. Membandingkan sumbangsih pedagang eceran atau kelontong dengan sektor industri lainnya, sangat bias.
“Tidak apple to apple. Jumping conclussion itu namanya. PAD basisnya pajak dan retribusi. Sementara jika dirunut, kontribusi pedagang kelontong atau pedagang eceran, dampak ekonominya lebih pada kemandirian ekonomi. Ketika dilihat dari kerangka yang lebih besar lagi, maka ada banyak rantai produksi rokok yang berdampak,” ungkap Willy.
Alasan membatasi dan melarang pemajangan rokok bagi pedagang eceran atau kelontong yang termaktub dalam Perda KTR Bogor, pun dirasa kurang rasional. Umumnya, orang terganggu dengan aktivitas merokok, bukan karena bentuk fisik rokoknya.
“Jika alasannya adalah perlindungan terhadap usia muda, banyak barang yang hanya bisa dikonsumsi oleh orang dewasa, biasa saja dipajang. Ada unsur tanggungjawab dan pilihan personal yang harus dikaji sebelum jadi materi peraturan, “papar Willy.
Pembatasan peredaran rokok melalui kawasan tanpa rokok seperti Perda KTR Bogor, dilihat dari kacamata ekonomi dan aspek konsumen merupakan pertimbangan yang dilematis. Karena itu pemahaman mengenai pembatasan itu sendiri harus jelas.
Berdasarkan data Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBHTC) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 12/PMK.07/2019, terungkap bahwa Kota Bogor memperoleh pemasukan sebesar Rp 4,57 miliar yang bersumber dari pajak cukai rokok sepanjang tahun lalu.
Menanggapi data tersebut, pengamat ekonomi yang juga Dosen Fakultas Ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB) Iqbal Irfani menjelaskan, seharusnya penerapan Perda KTR Bogor juga harus mempertimbangkan kajian ekonomi dan dampaknya. Mengingat pemberlakuan Perda KTR akan memberi dampak pada setiap rantai yang berkaitan dengan rokok sebagai produk, maka perlakuan, definisi dan area pembatasannya berbeda-beda.
“Misalnya, pembatasan dari sisi konsumen, tentu titik beratnya adalah pembatasan usia. Edukasi poin pentingnya. Nah, dari sisi industri, beda lagi pendekatannya seperti pedagang eceran,” ujar Iqbal.
Mematangkan sebuah peraturan, tegas Iqbal, haruslah melalui kajian dan proses panjang. Meskipun Kota Bogor bukan wilayah yang masyarakatnya mengandalkan sektor pertanian tembakau, Perda KTR Bogor harus menitikberatkan pada responsible consumption.
“Jadi distribusi ke konsumen sasarannya yang harus dimaksimalkan. Nah, aspek-aspek edukasi, sosialisasi dan penyadaran yang harusnya dimaksimalkan. Regulasi yang baik itu yang mampu menyelaraskan semua sisi seperti ekonomi dan edukasi,” tutup Iqbal.