POJOKBANDUNG.com,BANDUNG – Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil meminta pemerintah fokus mengkaji Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung dengan biaya yang murah. Lebih penting, ia meminta mekanisme dan proses pemilihan tidak lagi meninmbulkan korban jiwa dari para petugas pemilu.
Menurutnya, demokrasi adalah pilihan yang sudah diputuskan oleh negara. 34 gubernur, 510 bupati/walikota hingga kepala desa dipilih secara langsung oleh masyarakat. Untuk itu, fokus yang bisa dilakukan adalah mengkaji pelaksanaan pemilihan secara langsung tetapi tidak memerlukan biaya yang mahal. Salah satu caranya dengan memanfaatkan sistem digital seperti yang sudah dilakukan oleh negara lain.
“India sudah digital. Kita belum berani. Belum ada kepercayaan dan takut dihack (diretas). Jadi, sekali lagi, (sistem pemilihan) ini hanya soal pilihan,” kata dia saat ditemui usai menghadiri acara Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) Jabar di Trans Studio Mall, Jalan Gatot Subroto, Kota Bandung, Rabu (20/11/2019).
Demokrasi inj adalah pilihan yang sudha dipilih kita. Tiap pilihan ada resiko. Resiko ini diminimalisir oleh bawaslu. Kita tidak mau ada lagi (pemerintah) otoriter. Kekuasaan yang terlalu lama cenderung korup,” ia melanjutkan.
Di sisi lain, ia mengakui bahwa demokrasi langsung terhadap jumlah penduduk yang banyak pasti rumit. Itu berbanding lurus dengan jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan pengawassemua proses awal hingga akhir yang membutuhkan biaya. Risikonya pun harus ditanggung oleh peserta pemilu yang harus mengeluarkan biaya saksi dengan upah Rp 50-100 ribu. Jumlah itu dikalikan dengan ribuan TPS yang ada.
Pada Pemilihan Gubernur Jawa Barat, jumlah TPS yang tersebar kurang lebih 70 ribu titik. Ia harus menggadaikan motor Harley Davidson dan sejumlah barang lainnya untuk menutupi biaya pilkada yang sangat mahal.
“Tapi, itu adalah dasar membangun sebuah sistem yang adil. Karena one man one vote membuahkan pilihan yang sesuai dengan maunya rakyat. Karena pilihan demokrasi langsung,” jelas dia.
Lebih lanjut, pria yang akrab disapa Emil ini menilai usia Demokrasi Indonesia masih muda. Maka, sangat wajar jika pemerintah masih terus mencari sistem ideal dalam prose pemilihan kepala daerah. Namun, ketika pemilihan sampai menimbulkan korban jiwa, maka itu harus cepat menjadi pembelajaran.
“Sebenarnya yang penting eksesnya. Serentak ga ada masalah, tapi tetap harus memberi waktu ke petugas lebih manusiawi. Waktu kemarin (pilkada serentak) ga bisa tidur karena ada deadline, apalagi kebanyakan petugas usianya sepuh. Kan yang meninggal di atas 500an paling banyak di jabar,” pungkasnya.
Hal itu ia sampaikan merespon usulan evaluasi Pilkada langsung oleh Mendagri Tito Karnavian yang dianggap memiliki sisi negatif, di antaranya biaya yang besar harus dikeluarkan calon kepala daerah. Dalam rapat dengan Komisi II di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (6/11/2019), Tito mengaku sedang tengah mengkaji sejumlah opsi, antara lain tetap pilkada langsung dengan meminimalisasi efek negatifnya, pilkada kembali ke DPRD, atau Pilkada asimetris.