Bandung – Polemik mengenai pakaian cingkrang atau cadar merupakan muara dari perselisihan antara dua perspektif kebudayaan bangsa arab dan barat yang menggempur Indonesia. Dampaknya, kebudayaan asli Indonesia tergerus karena belum mendapat penguatan dari pemerintah.
Seperti diketahui, belum lama ini Menteri Agama Fachrul Razi mengatakan ASN yang mengenakan celana cingkrang tidak sesuai aturan. Meski tak bisa dipersoalkan dari segi agama, Fachrul menyebut celana cingkrang melanggar aturan berpakaian ASN
Hal ini menjadi polemik, karena, selain menyinggung soal aturan kerja, Menag pun menilai penggunaan cadar di lingkungan instansi pemerintahan dikhawatirkan menimbulkan ancaman keamanan. Rujukannya adalah kasus penusukan Menkopolhukam Wiranto di Banten
Dalam insiden itu, salah seorang tersangka adalah perempuan mengenakan jilbab panjang serba hitam dan bercadar. Isu ini pun dalam rangka agenda besarnya menangkal upaya radikalisme. Hanya saja, hal ini menimbulkan kekisruhan di tengah masyarakat maupun media sosial.
Menanggapi hal itu, Dedi Mulyadi enggan fokus pada satu kasus saja. Baginya, semua permasalahan ini datang karena budaya asing, katakanlah budaya Arab dan Barat menggempur secara masif hingga menanggalkan kekosongan makna terhadapa kebudayaan Indonesia itu sendiri.
“Kalau sekarang, budaya arab ini (bertarung) dengan budaya barat, lalu seperti apa budaya Pancasila? Busana Pancasila? Pemerintah lupa bahwa identitas kebudayaan kita di daerah sudah lama tidak dihiraukan sebagai identitas yang mencerminkan ke-bhineka-an,” katanya di Bandung, Minggu (11/3/2019).
“Problem Indonesia itu adalah lama meninggalkan jati dirinya. Ketika hari ini digempur budaya Arab, ini dijadikan sebagai antitesa budaya Barat, kenapa jas ga dilarang dan sebagainya, ga akan selesai,” ia melanjutkan.
Anggota DPR RI ini pun menjelaskan, jika permasalahan ini dipandang melalui kacamata kebudayaan, di masyarakat sunda, celana cingkrang sudah biasa dipakai oleh petani, pesilat karena alasan mobilitas dan mendukung gerakan yang dinamis. Begitu pula dengan budaya di daerah lain, pasti ada makna dan memiliki nilai tersendiri.
“Negara harus berani menampilkan identitasnya dengan kebudayaan. Pancasila tanpa praktik itu tidak ada gunanya. (Di luar tata cara pakaian yang menjadi polemik) Ini tradisi di kampung ditiadakan. Kalau memang pancasila harus ada ruang bagi warga adat, lindungi hutan. Di sana habitat kebudayaan.
“Ketika kita hanya ngomong pancasila, tapi tidak menjaga alam, kita tidak akan melawan gempuran dari barat,” terang dia.
Kembali ke polemik pakaian, ia mencontohkan, pangeran dari Arab selalu menggunakan baju khas berwarna putih. Salah satu cara bangsa Indonesia agar dipandang memiliki kebudayaan, Presiden harus memulai setiap kegiatan atau kunjungan ke luar negeri dengan pakaian orang indonesia secara konsisten, contohnya kemeja motif batik yang memiliki pilihan ribuan motif tersebar di berbagai daerah..
“Ngomong pancasila, tanpa landasan filosofi kebudayaan dan ketauladanan kepemimpinan, ditakutkan jadi gerakan politik. Kalau ditafsirkan begitu, bukan ideologi kebudayaan. Maka (pasti) akan ada perlawana Politik,” jelas dia.
Mendagri dan Menpan RB pun disarankan membuat regulasi mengenai seragam Aparatur Sipil Negara (ASN). Aturannya, bisa menyisipkan perspektif kebudayaan. Misalnya, seragam yang digunakan harus memiliki atau bertema budaya disesuaikan dengan daerah masing-masing. Di Jawa Barat, contohnya, ASN wajib mengenakan pangsi dan iket kepala.
“Tapi Juklak (petunjuk dan pelaksanaan) ini harus berdasarkan perspektif budaya masing-masing daerah, jadi identitas budaya daerah bisa menjadi antitesa soal polemik budaya arab dan barat. Ini momentumnya setelah sekian lama ciri khas budaya kita tergerus,” pungkasnya. (*/cr1)