Bandung – Para penyelenggara negara dinilai masih memiliki ketakutan dalam melakukan penyerapan anggaran. Hal itu disebabkan banyak hal, dalah satunya belum ada kesinambungan prosedur berbagai institusi.
Anggota DPR RI Dedi Mulyadi menilai hal ini membuat penyerapan anggaran di sebuah kelembagaan masih rendah. “Ini bisa disebabkan ketidaktepatan perencanaan dan prosedur pengelolaan yang relatif rumit administratif sehingga ada ketakutan di kalangan penyelenggara negara,” kata dia, Sabtu (26/10/2019).
Untuk mengatasinya, Dedi mengusulkan harus ada perubahan mekanisme birokrasi. Salah satunya ialah penyederhaanaan proses lelang. Kemudian, mekanisme pembayaran dilakukan setelah semua pekerjaan selesai dan sudah dilakukan audit.
Selama ini, pembayaran dilakukan secara bertahap dengan sistem termin. Menurut Dedi, sistem itu tidak efektif dan malah membuat birokrasi kian rumit. Belum nanti jika ada sisa anggaran, menagihnya ke pihak ketiga atau pemborong akan susah.
“Bahkan terkadang ada pemborong yang bilang lebih baik dipenjara daripada harus mengembalikan uang. Nah, nanti yang repot kepala dinas” kata mantan bupati Purwakarta dua periode ini.
Selain itu, dengan sistem saat ini, proses auditnya memakan waktu yang lama. Misalnya, pekerjaannya selesai bulan Juli, nanti diaudit Maret atau April tahun berikutnya. Pekerjaan yang diaudit pun berupa sampel, tidak menyeluruh sehingga dikhawatirkan baiknya kualitas pekerjaan tidak merata.
Jika sistem audit dilakukan setelah pekerjaan selesai, maka penyimpangan pengelolaan kegiatan tidak akan pernah ada. Auditor juga harus bisa mempertanggungjawabkan hasil auditnya. Sebab, seringkali terjadi pekerjaan yang selesai tetap menjadi ranah penyelidikan. Jadi akhirnya tidak ada kepastian hukum.
“Saya juga usulkan proses penyelidikan pada sebuah kasus tindak pidana korupsi dilakukan setelah ditemukan adanya kerugian negara. Bukan dibalik. Kerugian negara baru diaudit investigatif setelah panjang dan rumitnya penyelidikan. Itu yang mengakibatkan kelelahan birokrasi,” kata politisi Golkar ini.
Untuk mencegah kebocoran, Dedi mengusulkan komponen produksi, seiring dengan hilangnya struktur eselon, yang dibayar dalam bentuk honorarium pegawai dilakukan setelah produksi selesai.
“Misalnya, pekerjaan senilai Rp 1 miliar dan sudah 100 persen dibayar, itu nanti harus ada komonen dipisah untuk penyelenggara kegiatan. Diambillah misalnya 2 persen dari total pekerjaan untuk honor pegawai,” kata Dedi.
Kalau kebijakan itu dibuat, menurut dia, maka birokrasi dapat uang legal dari lelahnya bekerja dan bebas dari kebocoran,” kata Dedi.
Dedi juga mengusulkan agar institusi Inspektorat harus diubah pertanggungjawabannya bukan pada bupati, tetapi secara vertikal. Bertanggung jawab langsung ke provinsi dan pusat.
“Atau tempatkan pegawai BPK di daerah,” katanya. (fid)