JAKARTA – Penggunaan listrik berpengaruh besar pada perkembangan industri, kopi salah satunya. Industri ini sangat mengandalkan konsumsi dari mulai penanman hingga masuk proses penegolahan.
Konsumsi kopi saat ini menjadi bagian dari gaya hidup. Pertumbuhan kafe yang menyediakan beragam menu kopi terus menjamur. Tak jarang kafe tersebut ditunjang oleh menariknya tampilan interior dan eksterior bangunan yang instagramable.
Data dari Ditjen Industri Agro Kemenperin menyatakan, pertumbuhan konsumsi produk kopi olahan dalam negeri meningkat rata-rata 7 persen per tahun. Pertumbuhan ini didorong oleh bertumbuhnya masyarakat kelas menengah dan perubahan gaya hidup masyarakat.
Apalagi, Indonesia adalah negara penghasil biji kopi terbesar keempat di dunia setelah Brasil, Vietnam dan Kolombia. Ini menjadi potensi pengembangan industri pengolahan kopi di dalam negeri. “Produksi kopi kita adalah 639.000 ton tahun 2017 atau 8 persen dari produksi kopi dunia dengan komposisi 72,84 persen merupakan kopi jenis robusta dan 27,16 persen kopi jenis arabika.
Sejalan dengan tema Electricity Lifestyle, yang mengemuka dalam penyelenggaraan Bali Collection Festival 2019 (BCF 2019), Pambudi Prasetyo selaku Ketua Penyelenggara, menyatakan bahwa Industri kopi saat ini termasuk yang sedang seksi. Di sisi lain, semua
Menurut Pambudi, luasnya penggunaan listrik dimulai sejak dari kopi tersebut ditanam sampai siap diminum. Proses penanaman kopi tidak hanya membutuhkan energi secara intensif, baik digarap dengan sistem tanam sederhana ataupun yang menggunakan mesin (mekanisasi pertanian).
Faktanya, hampir 60% energi yang dipergunakan untuk menghasilkan secangkir kopi, terutama terletak pada sisi distribusi (pengangkutan), roasting (proses sangrai), dan penyeduhan (brewing) kopi.
“Mesin roasting beroperasi pada suhu temperatur 550 derajat Fahrenheit, dan setiap satu jam menghabiskan sekitar 1 juta BTU (British Thermal Unit). Dari semua proses, penyeduhan kopi yang membutuhkan energi paling besar. Secara total energi yang dipergunakan untuk menghasilkan 100 mililiter kopi setara dengan 1,94 megajoules, atau setengah KwH,” ucap dia melalui siaran pers yang diterima.
Hal senada juga dikemukakan oleh Nyoman Suweca selaku Ketua Indonesian Barista Association (IBA) Bali, yang secara organisasi berada di bawah Indonesian Food and Beverage Association Commitee (IFBAC) Bali.
“Investasi terbesar adalah pada harga mesin-mesin seperti coffee grinder (mesin giling kopi), mesin espresso, french press (alat penghilang ampas kopi), milk steamer, dan kulkas untuk menyimpan susu dan campuran bahan kopi lainnya (chest freezer). Sebab harga satu jenis mesin saja berada sekitar Rp35 – 50 juta; kemudian juga jenis kopi yang banyak disukai saat ini adalah jenis kopi premium, yakni specialty coffee,” paparnya.
Di bidang usaha coffee shop, daya listrik setiap jenis mesin berbeda-beda, bervariasi antara 1.200 watt sampai 1.300 watt, di luar daya boiler. Biasanya setiap venue memiliki minimal 4 jenis mesin, serta pendingin ruangan (AC) sehingga untuk menyediakan daya listrik beserta spare daya tersedia, mereka perlu menyediakan sekitar 10.000 watt.
Suweca menambahkan, sejak setahun terakhir perkembangan coffee shop di Bali bertumbuh pesat, sehingga hampir setiap bulan muncul satu kafe baru. Kegemaran minum kopi juga ditunjang oleh meningkatnya pendapatan kelas menengah, sehingga membeli segelas atau secangkir kopi harga Rp30 – 50 ribu, tidak terasa berat. (bbb/*)