JAKARTA – Harga cabai yang tinggi di sejumlah pasar tradisional diduga karena ada masalah dalam manajemen distribusi dan penyediaan. Pemerintah harus segera melakukan langkah strategis untuk mengatasi hal tersebut.
Di Pasar Kwitang Dalam, Jakarta Pusat, dimana harga jual produk cabai seperti cabai rawit merah dipatok lebih dari Rp 100 ribu per kg. Harga jual seperti itu pun terjadi di sejumlah pasar tradisional di Kota Bandung.
Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) berharap harga cabai bisa turun dan stabil. Pasalnya, harga yang tinggi membuat engeluaran modal semakin besar. Jika terus seperti ini, tidak menutup kemungkinan industri makanan bisa merugi atau gulung tikar.
‘Kita berharap tidak lama dan tinggi karena bisa membahayakan secara keseluruhan. Masyarakat akan terpukul duluan berikutnya industri,” kata Wakil Ketua GAPMMI Rachmat Hidayat, belum lama ini.
Saat ini para pengusaha di bidang makanan mengakali kenaikan harga dengan stok cabai yang dikeringkan. Namun, kualitas cabai yang diolah bisa berpengaruh terhadap rasa dan hasil masakan. Terlebih, usia kesegaran cabai tidak berangsur lama. “Cuma usia stok kita kan ada umurnya. Bisa habis. Kalau habis kita baru akan merasakan,” kata dia.
Di kesempatan terpisah, anggota Komisi IV Andi Akmal Pasludin berpendapat bahwa pemerintah harusnya bisa menugaskan Bulog untuk melakukan manajemen komoditi agar harga cabai tidak meroket. Misalnya dengan memanfaatkan teknologi penyimpanan cabai sekaligus membina petani.
Dia mengusulkan langkah jangka pendek yang bisa dilakukan adalah operasi pasar. Kemudian Menteri Pertanian dan Bulog bisa membeli cabai di daerah lain di Makassar atau Sumatera di bawa ke Jawa. Apalagi, kata dia, anggaran di Kementan untuk petani sangat banyak. Namun, Kementan tidak ada anggaran untuk membeli karena bukan tugasnya.
“Sekarang itu bagaimana Kementan mengikat Bulog membeli produksi petani. Harusnya Bulog itu bisa membeli dan menjual. Selama ini di lapangan Bulog ini selalu dimanjakan dengan subsidi. Belum begitu kreatif. Kenaikan harga selalu terulang, kenapa tidak diantisipasi. Itu yang kita sesalkan sebagai wakil rakyat,” imbuhnya.
Sementara itu, Pakar Pertanian dari IPB, Prof Dwi Andreas Santosa menilai tahun 2019 ini memang terjadi anomali terhadap produksi cabai dalam negeri. Sebab, kata Andreas, biasanya pada tahun-tahun lalu mulai bulan Mei, justru harga cabai melandai turun dan kemudian akan naik pada September dan Oktober.
Namun pada 2019 harga terus naik sampai sekarang. Ia mensinyalir ada beberapa hal yang menyebabkan harga cabai terus tinggi. Salah satunya, faktor kesalahan kebijakan terkait tata kelola cabai. “Jaringan tani kami menerima bantuan untuk penanaman cabe di Januari, saat itu ditanam cabai ya hancur-hancuran, karena masih musim hujan, dan sampai Maret dan April masih sisa hujan,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Hortikultura Kementan Prihasto Setyanto mengatakan hambatan produksi disebabkan oleh petani cabai yang tidak merawat tanaman dan memanen cabai. “Ya ini memang karena pengaruh yang jelas karena kemarin kan cabai sempat harganya jatuh. Nah karena harga jatuh, tanaman nggak dirawat oleh petani,” ujar Prihasto.
Ia menceritakan, harga cabai merah di tingkat petani 2-3 bulan yang lalu sempat jatuh hingga berada di level Rp 5.000/kg. Menurutnya, jatuhnya harga membuat petani malas memanen cabai merah karena biaya panen lebih mahal dari harga jual, di mana ongkos panen sekitar Rp 6.000/kg. Hal itulah yang membuat petani akhirnya tidak merawat dan tidak memanen tanaman cabainya sehingga membuat produksi cabai berkurang. (azs/jpc/*)