POJOKBANDUNG.com, BANDUNG – Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jabar, M Ade Afriandi mengatakan, kenaikan Upah Minimun Kabupaten/Kota yang terjadi di Jawa Barat sepanjang 2015-2018 menjadi salah satu penyebab turunnya kinerja eksportir manufaktur di Jabar.
Bila dirata-ratakan, besaran upah tersebut dipastikan naik tiap tahunnya hingga mencapai 5 persen. Meskipun tingkat Upah Minimum Provinsi (UMP) Jawa Barat termasuk salah satu peringkat terendah nasional, yakni sebesar Rp1,668,372, namun, ada kesenjangan yang sangat besar antara besaran UMK terendah dengan UMK tertinggi, yang mencapai 250 persen. Hal tersebut, kerap membuat investor enggan menanamkan modalnya di Jawa Barat.
“Data Apindo dan Disnakertrans Jabar mencatat setidaknya sepanjang tiga tahun ke belakang, terdapat 21 pabrik relokasi keluar Jawa Barat, sementara 143 pabrik lainnya ditutup,” ungkapnya di Gedung Sate Bandung, kemarin.
Adapun ke-164 pabrik tersebut, Ade mengatakan, tergolong ke dalam jenis pabrik besar dengan komposisi jenis industri 48 persen garmen, 21 persen produk tekstil lainnya, dan 31 persen sisanya adalah pabrik manufaktur lainnya. Tutupnya pabrik garmen dan produk tekstil yang merupakan jenis industri padat karya dinilai berdampak besar pada peningkatan angka PHK di kalangan pekerja.
“Apabila kita rata-ratakan setiap pabrik mempekerjakan 1.500 pekerja, maka relokasi dan penutupan pabrik ini berdampak terhadap pemutusan hubungan kerja setidaknya terhadap 170 ribu pekerja di sektor garmen dan produk tekstil,” ungkapnya.
Berdasarkan data yang dimilikinya, Ade mengatakan dalam tiga tahun ke belakang, relokasi dan penutupan perusahaan padat karya tertinggi terjadi di Kabupaten Karawang dan Bekasi. Kedua daerah tersebut, terutama Kabupaten Karawang, memiliki besaran UMK tertinggi tak hanya di Jabar, tetapi juga di Indonesia yakni Rp4,23 juta.
“Inilah yang saya maksud dengan dilematika upah minimum di Jawa Barat. Di satu sisi berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, di sisi lain telah mengancam eksistensi industri, terutama industri manufaktur padat karya,” jelasnya.
Saat ini, Ade memaparkan kondisi serupa juga tengah mengancam sejumlah daerah, di antaranya Kabupaten Bogor, Subang, Purwakarta, Bandung, Kota Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat. Di Kabupaten Bogor, jumlah pabrik yang terancam tutup atau relokasi mencapai 54 pabrik dengan 64 ribu pekerja. Sementara di Subang terdapat 31 pabrik garmen, dimana 5 di antaranya telah tutup awal tahun 2019 dan berdampak pada 70 ribu pekerja.
“Tanpa kehatian-hatian pemerintah dalam mengambil kebijakan, maka setidaknya 130 ribuan pekerja dapat kehilangan pekerjaannya dalam waktu dekat, hanya dari dua kabupaten saja,” pungkasnya.