POJOKBANDUNG.com, BANDUNG – Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dinilai selalu ditafsir terlalu luas oleh penegak hukum. Hal ini menjadi salah satu faktor pimpinan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berpotensi terjerat kasus hukum, misalnya berkaitan dengan kerugian perusahaan.
Konsultan hukum Ary Zulfikar mencontohkan salah satu tafsiran yang biasa digunakan penegak hukum adalah mengaitkan kerugian di level BUMN maupun di level anak perusahaan dianggap sebagai kerugian negara.
Padahal, aset BUMN atau anak perusahaan berbeda jika ditinjau tentang kewajiban atau hutang mereka adalah hutang negara atau pemerintah. Menurutnya, analogi aset BUMN adalah aset negara menjadi tidak relevan karena negara hanya memiliki saham yang dicatat sebagai kekayaan negara.
“Jika Direksi BUMN telah menjalankan tugas dan fungsinya dengan itikad baik, dan menjalankan good corporate governance sesuai dengan fiduciary duty sebagai direksi, maka yang bersangkutan tidak bisa dikriminalkan,” jelasnya melalui siaran pers yang diterima, Senin (29/7/2019).
Sejak UU Tipikor diterapkan, banyak jajaran direksi BUMN di terjerat kasus hukum hingga tak sedikit berakhir menghuni penjara akibat adanya persero yang dipimpinnya mengalami kerugian. Padahal, tidak semua kerugian yang terjadi akibat kesalahan yang dilakukan direksi tersebut.
Imbasnya, para direksi BUMN kerap dalam posisi dilematis. Di satu sisi dia dituntut untuk mencari keuntungan, tetapi ketika keputusan bisnis yang diambil salah dianggap merugikan negara dan diancam dengan UU Tipikor.
Terbaru, direksi BUMN yang saat ini tengah mengalami masalah hukum yang berkaitan dengan UU Tipikor antara lain adalah Sofyan Basir ketika menjabat sebagai Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
“Tindakan jajaran direksi tersebut tidak bisa dijerat kasus hukum jika sepanjang tindakan bisnis yang diambilnya sudah memenuh persyaratan dan prosedur yang ada di BUMN tersebut. Kecuali memang melakukan tindak pidana seperti menggelapkan dana perusahaan, melakukan penipuan dan lain sebagainya,” ujar pria bergelar Doktor Hukum Bisnis dari Universitas Padjadjaran ini.
Tafsir UU Tipikor yang terlalu luas oleh penegak hukum, khususnya Pasal 2, membuat sejumlah jajaran direksi berurusan dengan hukum. Dia juga menilai tafsir Pasal 12 huruf a UU Tipikor terlalu luas, dimana disebutkan bahwa bagi penyelenggara negara atau pegawai negeri yang menerima `janji` saja, meskipun tidak terima uang, maka dapat juga dikenakan tindak pidana tipikor.