POJOKBANDUNG.com – Dalam hidup,” kata Bu Ani Yudhoyono, “orangtuaku mengajarkan bahwa setiap detik adalah limpahan rahmat Tuhan di mana manusia bisa melakukan banyak hal yang penuh makna.”
Ani putri dari Sarwo Edhi Wibowo, satu di antara legenda Indonesia di ranah ketentaraan.
“Ayah adalah embusan jiwa. Aku masih merasakan “roh”-nya menggeliat di sekitarku, walaupun ia sudah lama wafat,” kata Ani, seperti dituliskan Alberthiene Endah dalam buku Ani Yudhoyono—Kepak Sayap Putri Prajurit.
Dari orang tuanya, Ani beroleh ajaran bahwa setiap usia, setiap fase hidup adalah kesempatan emas untuk berbuat positif. Siapa pun kita, hidup bisa diisi dengan peran yang berarti.
“Pikiran, kehendak dan niat positif ini kemudian menjadi rajutan untuk menata hidup ke arah yang lebih baik. Tetapi, akan menjadi apa suatu saat kelak, itu adalah skenario Tuhan yang tidak akan pernah bisa dipastikan manusia.”
Jalan hidup rupanya membawa Ani menjadi Ibu Negara, mendampingi suaminya Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Presiden Republik Indonesia ke-enam.
Hari ini, 1 Juni 2019 Ani berpulang, setelah dirawat sekian purnama di Singapura. Untuknya telah kita kirim tiga alfatihah.
Ani lahir di tanah Jawa, 6 Juli 1952 dengan nama Kristiani Herrawati. Perihal nama ini, ia bercerita…
Saat aku lahir, Papi sedang ditugaskan di Batalyon Kresna di Yogyakarta. Ini sebuah kebetulan, karena papi juga sangat mengagumi tokoh pewayangan yang berkarakter baik, Kresna.
Begitu aku lahir, Papi langsung mendapat ilham untuk menyematkan Kresna dalam namaku. Tentu saja tidak mungkin aku diberi nama Kresna, karena identik dengan laki-laki. Ditambahi wati pun terdengar lucu, Kresnowati. Akhirnya Papi memberiku nama: Kristiani.
Sedangkan nama Herrawati dipilih Papi dari penggalan kisah yang pernah diceritakan ayahnya. Herrawati memiliki makna kekuatan yang bisa menyapu bersih haling rintang saat terjadi huru-hara.
Dalam buku otobiografi Ani Yudhoyono yang dituliskan dengan sangat baik oleh Alberthiene Endah itu, dikisahkan juga apa yang terjadi saat Ani baru saja lahir ke muka bumi.
Menurut cerita ibunya, Sunarti Sri Hadiyah, Ani lahir ketika usia kandungan tujuh bulan. Kebahagiaanya bercampur sedih dan prihatin melihat kondisi tubuh anaknya yang begitu kecil. Berat hanya dua kilogram lebih sedikit.
“Aku diletakkan di dalam inkubator lebih dari dua minggu. Agar tubuh kecilku tidak kedinginan…ketika aku diperbolehkan pulang, masalah belum selesai. Tubuhku terlampau kecil dan harus terus dihangatkan,” kenang Ani mengulang cerita ibunya.
Rupanya tubuh mungil itu menguning. Sang Ibu tak kehabisan akal. Dibuatnya penghangat darurat berupa dua botol berisi air panas yang dibalut kain dan ditempelkan di sisi-sisi bayinya.
Cara ini membuat bayi mungil itu terus tertidur pulas. Supaya bayi itu kembali memerah dan bugar, tiap beberapa jam sekali, bayi itu diangkat dari kenyamanan di antara botol itu, lalu dimandikan dengan air sumur yang dingin.
“Benar-benar air sumur dingin. Tanpa direbus. Merasakan cipratan air dingin yang nyes itu, praktis tubuhku menggeliat kaget dan langsung menangis kencang. Selagi menangis itulah, ibu buru-buru menyusui aku. Kondisiku terus membaik,” katanya.
Pendek kisah, bayi mungil itu tumbuh menjadi anak lincah dan pemberani. Di kalangan sebayanya, dia dikenal jago panjat pohon.
Dan, kata Ani, “beranjak remaja, banyak orang mengomentari tubuhku yang tegap dan kelihatan kuat. Tidak banyak yang tahu, sebetulnya aku lahir prematur dalam kondisi sangat lemah.”
Sang putri prajurit pun menjadi idola. Yang berhasil meraih hatinya Susilo Bambang Yudhoyono, SBY, seorang prajurit yang kemudian menjelma presiden.
Kata SBY, dalam pengantar buku biografi istrinya itu, “Ani telah lulus dengan nilai sangat baik sebagai seorang istri dan ibu. Ia bukan saja berhasil mendukung saya untuk bisa melaksanakan tugas-tugas dengan hati yang tenteram, tapi juga membangun karakter yang baik pada anak-anak.”