POJOKBANDUNG.com, BANDUNG – Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Barat memverifikasi instansi pemerintah dan swasta yang belum bayar tunjangan hari raya (THR) bagi pekerjanya. Verifikasi dilakukan berdasarkan 30 pengaduan dari 27 perusahaan dan pegawai honorer di tiga instansi pemerintah.
“Sampai hari ini (27 Mei, Red) , kami sudah menerima 30 laporan dari pekerja perusahaan swasta dan non-ASN (pegawai aparatur sipil negara),” ujar Kepala Disnakertrans Jabar, Mochamad Ade Afriandi pada kegiatan Jabar Punya Informasi (Japri) di Gedung Sate, Selasa (28/5/2019).
Menurut Ade, dari 27 perusahaan itu didominasi di wilayah Kabupaten Bogor, Bekasi, Karawang, Kab/Kota Cirebon, Kab/ Kota Bandung, Garut dan Kab/KotaTasikmalaya.
“Disnakertrans memverifikasi pengaduan tersebut, sebab bisa saja pihak perusahaan maupun instansi pemerintah tersebut seiring berjalannya waktu membayarkan THR tahun 2019,” tandasnya.
Ia berharap, jumlahnya tidak bertambah, namun permasalahan intinya belum melakukan verifikasi lapangan, karena baru dari laporan yang masuk.
“Dibandingkan tahun lalu, jumlah pengaduan terkait belum dibayarkannya THR meningkat. Pada 2018 lalu, Disnakertrans Jabar hanya menerima 14 pengaduan terkait THR tersebut yang didominasi perusahaan garment atau tekstil,” terangnya.
Ia mengatakan, tersendatnya perkembangan industri dalam beberapa tahun terakhir umumnya menjadi penyebab pihak perusahaan terlambat atau tidak membayarkan THR pekerjanya.
“Umumnya mengaku tidak memiliki kas. Berkaca dari tahun lalu, sektor garmen dan tekstil situasinya sedang tidak stabil. Untuk membayar upah saja kadang mereka berat, apalagi harus membayar THR,” paparnya.
Diketahui, berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 20 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian Sanksi Administratif dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, perusahaan yang tidak membayar THR sesuai jadwal tetap berkewajiban memberikan tunjangan tersebut pasca-Lebaran.
Jika pihak perusahaan lalai pada aturan tersebut, maka pemerintah daerah dapat memberikan sanksi pada perusahaan bersangkutan, mulai saksi teguran hingga mengurangi porsi produksi.
“Namun, sanksi pengurangan produksi ini cukup berat karena harus disertai audit oleh akuntan publik,” pungkasnya.