POJOKBANDUNG.com, JAKARTA – Pemerintah pusat melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menginstruksikan Bulog agar mengimpor 100 ribu ton bawang putih. Tujannya, mengendalikan harganya yang mengalami kenaikan. Namun, kebijakan yang tak diikuti keharusan untuk kembali menanam 5 persen dari volume pengajuan impor itu pun disorot.
Kebijakan penanaman 5 persen itu sesuai Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dan diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 Tahun 2017. Yang jadinya, jika ini diabaikan, dinilai malah bakal menciptakan persaingan tidak sehat antara importir bawang putih dengan Bulog.
Direktur Center For Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi menilai diskresi macam itu berpotensi mematikan swasta yang hidupnya bergantung pada usaha di bidang impor. Untuk itu, pemerintah harus mencabut atau membatalkan pemberian ‘diskresi’ kepada Bulog untuk mengimpor bawang putih tanpa perlakuan yang sama dengan importir.
“Ini merugikan petani bawang putih lokal dan kian menyengsarakan nantinya. Lantaran, kewajiban penanaman bawang dari proses impor yang sebenarnya sudah diatur dalam Permentan Nomor 8 tahun 2017 yang diperuntukkan bagi importir itu dihilangkan. Saya bahkan juga minta kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) atau kepada Ombudsman RI untuk menyelidiki, ada apa di balik kebijakan yang jelas tidak sehat ini,” terangnya.
Anggota Komisi IV Darori Wonodipuro mendesak penugasan Bulog untuk melakukan impor 100.000 ton bawang putih dievaluasi. Alasannya, kebijakan itu berpeluang membuat Bulog melakukan monopoli. Dia berpandangan, Bulog tak dapat melakukan impor bawang putih sendiri apabila hendak melakukan impor. Pemerintah harus memberikan kuota kepada perusahaan swasta agar terhindar dari monopoli.
“Kalau begini dapat menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat,” kata Darori saat dihubungi.
Selain itu, Darori melanjutkan, DPR akan mempertanyakan kepada Menteri Pertanian terkait jadwal panen raya bawang putih. Khawatirnya, penunjukkan Bulog untuk melakukan impor komoditas bawang putih malah merugikan petani lokal.
Anggota Komisi IV, Andi Akmal Pasludin lebih tegas mengatakan bahwa penunjukan impor bawang tanpa kewajiban tanam merupakan pelanggaran Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) nomor 38 tahun 2017 juncto 24 tahun 2018, terdapat kewajiban bagi importir bawang putih untuk menanam lima persen dari volume yang didapat dari rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH).
Ia mengatakan tujuan diterbitkannya Pementan No 38 itu bagus dan baik untuk para petani. Setidaknya, dengan adanya kebijakan itu para petani terakomodir. Tidak merasa dianaktirikan oleh pemerintah. “Kita minta Menteri Perdagangan dan Bulog jangan menyetujui izin impor kalau tidak ada bukti penanaman,” terangnya.
Dari sisi politik, Indonesia Political Review (IPR) menilai kebijakan ini juga tak populis. Dikhawatirkan, kekecewaan petani bisa berimbas kepada elektabilitas Presiden Jokowi di pemilu presiden April ini. Apalagi, petani adalah salah satu basis massa Jokowi.
“Jangan melakukan kebijakan yang salah kaprah jelang pemilu karena akan menurunkan elektabilitas Jokowi. Apalagi hampir sebagian pemilih Jokowi adalah petani. Mereka diayomi. Dijaga. Kalau perlu diuntungkan. Jangan dirugikan. Kalau dirugikan akan berbalik arah dan ini akan merugikan pak Jokowi,” ungkap Direktur Eksekutif IPR, Ujang Komarudin.
Ujang mengingatkan, berdasarkan berbagai survei yang ada, pemilih Jokowi berasal dari kalangan menengah ke bawah seperti petani. Sementara, melihat dari sisi politik kebijakan impor terhadap elektabilitas Presiden Jokowi.
“Ini basis massa Jokowi. Maka harus dijaga, jangan membuat kebijakan yang merugikan,” dia mengingatkan.
(azs)