Fakta
Dari hasil penelusuran, gambar surat yang berisi tentang kebijakan poligami ternyata bukan dari situs resmi pemerintahan Tunisia.
Sekilas memang terlihat meyakinkan, mengingat foto tersebut dilengkapi sebuah dokumen bertuliskan huruf Arab, lengkap dengan stempel dan logo yang diklaim mirip seperti logo Pemerintahan Tunisia.
Namun setelah ditelusuri, kebenaran berita tersebut masih patut untuk dipertanyakan, bahkan ada indikasi hoax karena berasal dari sumber yang tidak valid. Foto itu diambil dari sebuah blog dengan domain gumilir.wordpress.com
Jika ditelisik dari sejarah kebijakan poligami di Tunisia, sejak 1956, negara tersebut sebetulnya secara resmi telah menghapuskan kebijakan poligami yang berlaku hingga saat ini. Tunisia bahkan menjadi negara Arab pertama yang menghapuskan poligami dari konstitusi negara atas perintah Presiden pertama Tunisia, Habib Bourguiba.
Kebijakan tersebut kemudian diperbaharui dan kini didasari pada mazhab Maliki dan Hanafi. Pada awalnya, tidak mudah memberlakukan kebijakan ini karena terdapat perbedaan dengan ketetapan hukum klasik.
Bahkan, untuk memberlakukan hukum itu secara resmi, Pemerintah Tunisia harus merangkul para Syekh dari Universitas Ezzitouna (universitas tertua di dunia).
Berdasarkan data yang berhasil dihimpun, Pemerintah Tunisia justru memberlakukan hukuman satu tahun penjara dan denda 240 Dinar Tunisia (Rp1,5 juta), bagi orang yang menikahkan seseorang yang berpoligami.
Sementara bagi para suami yang melakukan poligami, ia wajib memberikan uang bulanan kepada istri yang dipoligami dan anaknya sebesar 1500 Dinar Tunisia (Rp8 juta) setiap bulan, hingga ia meninggal dunia.
Uniknya, sejak Kebangkitan Dunia Arab atau dikenal dengan istilah Arab Spring, masyarakat Tunisia kini tengah memperjuangkan isu kesetaraan gender, terutama menyangkut hak-hak wanita dalam dunia politik dan sektor lainnya.