Sementara itu, semula komunikasi antara Nadia dan ibunya cukup lancar melalui telepon seluler. Tetapi, beberapa tahun belakangan tak ada lagi. Ibunya jarang mengangkat telepon darinya. “Nadia telepon gak mau, di-reject terus. Jadi tanya sama orang Madura kan ada yang Nadia kenal, rupanya udah di sana (Madura) nikah lagi,” jelasnya.
Sejak saat itulah Nadia harus berjuang sendirian. Diana yang semula sempat sekolah juga harus berhenti sebab tak ada yang merawat adik-adiknya. Diana kemudian mengikuti jejak kakaknya untuk bekerja sebagai buruh batu bata.
Dengan penghasilan Rp 100 ribu per minggu jika digabung, mereka hidup seadanya. “Kadang makan kadang nggak. Biasanya kalau belanja nitip Tante (tetangga). Kasih yang Rp 100 ribu atau Rp 75 ribu udah cukup buat makan. Kalau beras kadang ada yang kasih,” tuturnya.
Meski tak sekolah, namun Nadia dan Diana memiliki tekad kuat. Keduanya gigih mencari uang agar kedua adiknya yang lain, Marcel dan Kevin tetap bisa mengenyam pendidikan. Tak harus mengikuti jejak mereka yang putus sekolah.
“Kalau Marcel kelas 3 SD, kalau Kevin kelas 1 SD. Mereka sekolahnya gratis. Tapi cuma bayar beli bukunya aja gitu,” tuturnya.
Dua minggu belakangan, Nadia berubah profesi. Ia kini menjajakan gorengan orang dengan sebuah gerobak di Jalan Singgalang, Harapan Raya. Jarak dari rumah ke tempat jualan sekitar 5,5 kilometer.
Nadia mulai bekerja pukul 13.00 hingga 21.00 WIB. Setelah memasak dan membersihkan rumah, Nadia berangkat ke sana berjalan kaki. Terkadang menumpang dengan orang jika ada. Sementara Diana tinggal di rumah, bekerja sebagai buruh batu bata sambil menjaga adiknya kalau sudah pulang sekolah.
“Diana tetap kerja di sana (angkut batu bata). Karena gak ada yang jaga adik kan. Kalau Nadia di sini dibayar Rp 100 per goreng. Sehari bisa dapat Rp 20 ribu sampai Rp 30 ribuan lah. Alhamdulillah cukup untuk sehari-hari,” imbuhnya. ***