Tahun 1942, ketika Jepang mulai menjejakkan kaki di tanah Indonesia untuk melakukan penjajahan, ia dipaksa untuk bergabung dengan Fujinkai atau barisan tenaga perempuan yang dibentuk Jepang untuk turut serta memperkuat pertahanan
Pada tahun 1944, ketika berumur 14 tahun atau hampir menginjak 15 tahun, Mak Ening pasrah menerima nasib hidupnya dengan bekerja di dapur umum untuk menyuplai kebutuhan para tentara Badan Keamanan Rakyat (BKR), terutama memasak nasi yang dulu ada di Cibadak.
“Mau bagaimana lagi, yang namanya zaman penjajahan itu tidak enak, tidak seperti sekarang, kalau dulu serba sulit. Tahun 1943 Emak mulai pisah dengan keluarga. Tahun 1944 bapak Emak meninggal, jadi terpaksa kerja,” katanya.
Mata Mak Ening terlihat berkaca-kaca mengisahkan bagaimana ia bertemu dengan separuh jiwanya, Aki Amir. Kala itu, Mak Ening bercerita jika dirinya harus banting tulang berjualan singkong demi memenuhi kebutuhannya ketika mengungsi ke Tasikmalaya.
Pada tahun 1947, lagi-lagi Mak Ening harus mengungsi, kali ini Tasikmalaya jadi tujuannya. Tak berbeda jauh dengan kondisi kala ia hidup di Bandung, di Tasikmalaya Mak Ening juga harus bekerja serabutan, sampai terpaksa menjual singkong untuk memenuhi kebutuhannya.
Dibalik kisah pahitnya, di Tasikmalaya itulah ia pertama kali bertemu dengan Aki Amir yang kala itu sedang mengawal Presiden Soekarno.
“Ketemu Aki Amir itu pertama kali di Tasikmalaya, waktu Aki lagi jadi pengawalnya Presiden Soekarno. Waktu itu belum bisa kenal akrab, soalnya Emak takut sama Aki,” cerita Emak Ening malu-malu.