Benazir Bhutto adalah contoh lain. Kursi perdana menteri (PM) Pakistan memang dua kali didudukinya. Tapi, sedari awal menjabat, putri mantan PM Pakistan Zulfikar Ali Bhutto itu nyaris tak pernah lepas dari tekanan dan teror.
Hampir tiap kebijakannya ditentang. Sampai kemudian, hidupnya berakhir sebagai korban pembunuhan.
Cory Aquino juga harus menghadapi tekanan serupa nyaris sepanjang enam tahun kepemimpinannya di Filipina. Kudeta demi kudeta terus terjadi.
Ada beragam stereotipe yang masih menggelayuti pemimpin perempuan di Asia. Mulai dianggap lemah secara pendirian, kurang berani mengambil keputusan, sampai dibebani tanggung jawab domestik di rumah. Dan, semuanya itu yang akhirnya jadi senjata para musuh politik untuk menyerang.
Oleh para pakar, fenomena itu dinamakan glass ceiling. Ada tapi tak terlihat secara kasatmata. Naomi Denning, chairperson Inclusion & Diversity Council for Asia, menegaskan bahwa masyarakat modern harus bekerja sama mendobrak glass ceiling.
Absennya para perempuan dari tangga kepemimpinan bisa melahirkan dampak jangka panjang yang tidak menyenangkan bagi kesetaraan gender,” papar Denning sebagaimana dilansir situs asianentrepreneur.
Itulah yang membedakan mereka dengan para kolega di Eropa. Bukannya mereka tak mengalami tekanan. Tapi, demokrasi yang telah matang dan mapan menyebabkan tegaknya kesetaraan hak dan gender.
Kanselir Jerman Angela Merkel, misalnya, bisa dibilang merupakan pemimpin paling kuat dan berpengaruh di dunia saat ini. Merkel seperti menjadi ”perempuan besi” berikutnya setelah Margaret Thatcher, PM Inggris yang legendaris itu.
Lalu, akankah sentimen penolakan kepada Halimah Yacob membesar dan bisa berdampak pada pemakzulan seperti yang dialami Yingluck dan Park Geun-hye di Korsel?
Melihat latar belakang perpolitikan Singapura, sepertinya memang tidak. Tapi, apa yang dialami Yingluck, Park, Benazir bisa menjadi tempat becermin. ”Glass ceiling bisa disiasati lewat inovasi dan gaya kepemimpinan yang simpatik,” kata Denning.