Namun dengan catatan, keterangan saksi telah tertulis dalam berita acara penyidikan. Hal itu diatur dalam pasal 162 KUHAP. ”Jika keterangan itu sebelumnya telah diberikan di bawah sumpah, maka keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan saksi dibawah sumpah yang diucapkan di sidang,” tutur pria berkacamata itu.
Namun, meski tidak berpengaruh signifikan, Fickar menyarankan KPK harusnya meminimalkan potensi kematian terhadap saksi seperti yang dialami Marliem. Sebab hal itu berpotensi menjadi ancaman bagi saksi-saksi kasus korupsi lain yang kini ditangani lembaga antirasuah.
”KPK bisa bekerjasama dengan LPSK membuah safehouse,” imbuhnya.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Lili Pintauli Siregar mengungapkan pihaknya sebenarnya sempat menawarkan perlindungan terhadap Marliem. Yakni pada 26 dan 27 Juli lalu. Sayang, tawaran LPSK kala itu tidak direspon oleh Marliem. ”Sampai dia (Marliem) dikabarkan meninggal dunia, tidak ada permohonan yang masuk,” ungkapnya.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan belum ada rencana menelusuri kematian Marliem. Termasuk mencari alat bukti berupa rekaman berkapasitas 500 Giga Byte (GB) milik Marliem yang diklaim berisi percakapan tentang indikasi kongkalingkong dalam proyek e-KTP. ”KPK cukup yakin dengan bukti yang kami miliki saat ini,” ucapnya.
Sebelum tewas, Marliem memang sempat mengklaim memiliki alat bukti rekaman tentang keterlibatan sejumlah dalam korupsi e-KTP. Termasuk Ketua DPR Setya Novanto. Hanya, sampai saat ini, rekaman itu belum pernah dibuka. Bahkan, KPK sendiri mengaku tidak pernah mendapatkan rekaman tersebut.
”Rekaman tidak pernah diberikan kepada kami (KPK),” ujar sumber internal KPK.
Di tuntutan jaksa KPK, Marliem disebut sebagai penyedia barang automated fingerprint identification system (AFIS) merek L-1, bagian dari komponen e-KTP. Penunjukan perusahaan Marliem sebagai rekanan itu melibatkan Andi Agustinus alias Andi Narogong, tersangka korupsi e-KTP yang besok menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor Jakarta.