“Malah Keuskupan Agung Jakarta dan majelis Konghucu sudah mendampinginya sejak tahun pertama. Sejak acara ini lahir, mereka setia menemani saya ke mana-mana,” ujarnya, disambut tepuk tangan hadirin yang memadati gedung kesenian berkapasitas 300-an orang itu.
Menurutnya, pihak yang mendukung dialog kemanusiaan Ramadan terdiri dari orang-orang yang ingin meningkatkan persaudaraan dan hidup rukun di tengah perbedaan, entah beda agama, suku, bahasa, ras dan sekat-sekat primordial lainnya.
“Dan itulah misi dari perjalanan saya ini,” katanya.
Setiap sahur keliling, tutur dia, pihaknya selalu menyempatkan diri mampir ke Bandung. Tahun-tahun sebelumnya ia menggelar acara serupa di Astanaanyar, Kiaracondong, lalu pernah juga di gereja di Buah Batu.
Kini ia memilih berbuka puasa bersama warga kelurahan Kebon Pisang yang tinggal di sekitar GK Rumentang Siang. Baginya, Bandung ibarat miniatur Indonesia.
“Di sini saya berhadapan dengan berbagai agama,” ujarnya. Mulai Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Konghucu, Sunda Wiwitan, Bahai, Ahmadiyah, Syiah, dan masih banyak lagi.
Tiap penganut agama atau kepercayaan berasal dari berbagai suku bangsa, mulai Sunda, Jawa, Batak, Padang, Minang, Banjarmasin, Dayak, Bugis, Bali, Sasak-Lombok, Ambon, Papua, dan seterusnya yang merupakan wajah dari kebinekaan Indonesia.
Shinta menegaskan, semua kelompok etnis dan agama tinggal dalam satu bangsa Indonesia. “Lalu siapakah kita?” Tanya Shinta, yang dijawab berbarengan dengan jawaban hadirin: “Indonesia.”
Jadi, kata dia, sebagai warga yang tinggal di tanah dan air yang sama, maka tak sepantasnya saling berkelahi dan mencaci maki.
“Kalau tidak pantas, lantas kita harus bagaimana? Kita harus hidup rukun dan damai, saling menghormati, menghargai, dan menyayangi,” ujarnya.
Dengan demikian, kata dia, Indonesia akan tegak berdiri seraya dihiasi warna warni perbedaan. Satu saja warna itu hilang, Indonesia akan kehilangan keindahannya.